Friday 27 September 2013

Suatu Hari di Metro Mini

metromini
Ini kisah tentang seseorang yang baru saja datang dari kampung untuk mengadu nasib di ibu kota. Sebagamana kita tahu Jakarta memang bagai sebuah magnet bagi setiap orang ingin mencoba peruntungan di kerasnya ibu kota, meski tak jarang mereka banyak yang justru menjadi lebih susah hidup di jakarta, tapi apa mau dikata jakarta tetap menjadi primadona bagi mereka yang mencoba peruntungan nasibnya.

Siang itu di tengah teriknya ibu kota, bercampur dengan debu jalanan yang terhempas oleh bis kota dan ribuan kendaraan yang memenuhi jalan ibu kota. Seorang pria paruh baya yang baru datang dari kampung tiba di salah satu terminal yang cukup sibuk di ibu kota, Lebak Bulus. Dengan secarik kertas berisi alamat, sang pria berjalan menuju sebuah metromini jurusan Pulo Gadung.

Monday 16 September 2013

Cinta dalam Gelas

my second short story
writen by: Rizki Pradana
Awan mendung diiringi rintik hujan masih terus mebasahi kota Jogja siang itu. Dengan langkah sedikit gontai aku menuju ruang sidang sarjana yang berada di lantai dua kampusku. Dua jam lebih aku menunggu kedatangan Annisa. Minggu sebelumnya dia berjanji akan menemaniku menghadapi sidang tugas akhir skripsi, tapi hingga waktu sidang tiba dia tak kunjung datang.

Sudah hampir satu tahun kami berdua saling mengungkapkan rasa cinta yang ada di dalam hati kami masing-masing dan berncana untuk langsung menikah ketika kami lulus kuliah. Bahkan kami sudah saling mengenalkan orang tua kami masing-masing sebagai bentuk keseriusan hubungan kami.

Kami berdua memang berbeda fakultas. Tidak ada yang istimewa dari perjumpaan pertama kami. Nyaris klise, kami bertemu pertama kali pada saat sedang menjalani KKN (Kuliah Kerja Nyata) di desa yang sama dua tahun yang lalu. Tentu saja awalnya kami professional menjalankan tugas dan program kerja KKN kami, tapi perlahan tumbuh perasaan yang tidak biasa.

Dimulai dari kekagumanku akan pola pikirnya, penampilannya yang selalu anggun dengan jilbab yang tak pernah digulung-gulung, caranya bertutur kata, hingga cara dia dalam bersikap sehari-hari, membuatku semakin tertarik dan mengharapkannya bisa menjadi pendamping hidupku kelak.

Thursday 12 September 2013

Lembah Kasih

Writen by Rizki Prdana


Hembuasan angin yang bertiup pelan dari puncak Pangrango, menggoyangkan pucuk-pucuk bunga eidelweis yang mulai mengering. Mentari pun sudah kembali ke peraduan, dan sang purnama telah menampakkan diri meski nampak malu-malu di balik awan. Kabut tipis pun turun perlahan, menyelimuti hutan-hutan di sekitar lembah Mandalawangi.

Seperti biasa selepas sholat maghrib di dalam tenda, aku pun keluar menatap jutaan bintang yang membentang di atas langit malam. Begitu tenang suasana lembah Mandalawangi malam itu, Cahaya purnama melengkapi suasana syahdu di lembah Mandalawangi. Hanya ada tiga tenda yang berdiri disana hari itu. Perlahan ku putar sebuah lagu Cahaya Bulan yang diiringi sebuah puisi dari mendiang Soe Hok Gie, Sebuah Tanya.

Kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih
Lembah Mandalawangi
Kau dan aku tegak berdiri
Melihat hutan-hutan yang menjadi suram
Meresapi belaian angin yang menjadi dingin
           

Sunday 8 September 2013

MISTERI LONCENG MENARA SEKOLAH

Assalamaulaikum..

Mendadak beberapa hari ini perasaanku dipenuhi dengan rasa gundah dan kebingungan yang selalu melintas dalam benak. Sesujurnya diriku tak tau ingin memulai cerita ini dari mana. Selayaknya cerita-cerita film yang diangkat berdasarkan kisah nyata, aku mencoba menceritakan sendiri kisah yang aku alami beberapa hari yang lalu.

Barangkali teman-teman sekalian pernah atau bahkan sering mengalami peristiwa yang terkadang sulit untuk di jelaskan dengan akal sehat. Bahkan ketika nalar pun dipaksa untu mengurainya, ujung benang merah dari peristiwa itu kadang tak pernah ditemukan. Nyaris sama dengan apa yang ku alami beberapa hari yang lalu.

Mungkin peristiwa ini akan terasa begitu “ganjil” bagi kalian, tapi buatku apa yang akan ku ceritakan ini bisa membuat kita lebih tenang, dan selalu berfikir positif. Dan yang terpenting membuat kita makin dekat denganNya dan percaya bahwa memang tidak ada kekuatan belebihi kekuatanNya.

Sabtu, 7 September 2013
Pukul 07.30 pagi
Pagi itu tak ada sedikitpun pikiran negatif yang terlintas dalam benakku, bahkan dalam akalku yang paling tidak rasional pun tak membayangkan kejadian yang akan ku alami kali ini. Seperti biasa pagi itu aku habiskan sarapanku dan bergegas menyiapkan foto kopi ijazah SMA yang akan aku legalisir. Ya, sebentar lagi tes CPNS di buka, aku harus menyiapkan semuanya, termasuk melegalisir semua ijazah, barangkali saja nanti diperlukan sebagai persyaratan pemberkasan.

Semua sudah siap, SIM dalam dompet sudah kukantongi, HP pun ku masukkan dalam saku kemeja biruku pagi itu. Dengan motor aku tembus kesibukan kota Solo pagi itu menuju salah satu SMA Negeri, yang boleh dikata tersohor di kota ini. SMA Negeri I Surakarta, salah satu SMA terbaik di kota ini, tempat dimana 5 tahun yang lalu aku masih duduk di salah satu kelasnya dengan seragam putih abu-abu, merasakan indahnya masa-masa indah di bangku SMA.

Friday 6 September 2013

Aron Ralston, The True Story of 127 Hour

ralston.jpg (450×318)

Aron Ralston, seperti biasa melakukan pendakian rutinnya di hari Sabtu seorang diri. Ia berencana untuk menghabiskan hari dengan mengendarai sepeda gunung dan mendaki batu-batu merah dan pasir di luar Taman Nasional Canyonlands di Utah tenggara. Ralston berasal dari Aspen, Colorado, adalah sarjana teknik dan musik yang pernah bekerja selama lima tahun di Intel.

Ralston sendiri telah mendaki tempat itu berkali-kali dan kali ini dia melakukannya sebagai pemanasan untuk sebuah pendakian gunung tertinggi di Amerika Utara. Mengenakan T-shirt dan celana pendek dan membawa ransel ia berencana untuk melakukan ‘Canyoneering’ jauh ke ngarai Bluejohn Canyon. Ranselnya berisi dua burrito (makanan khas Meksiko), satu liter air, alat multi fungsi tapi imitasi bermerek Leatherman, alat P3K, kamera video, kamera digital dan peralatan panjat tebing. Dia tidak membawa jaket. Canyoneering adalah melakukan perjalanan ke ngarai dengan menggunakan berbagai skill : berjalan, mendaki, memanjat tebing dengan menggunakan berbagai peralatan. Canyoneering yang dilakukan Ralston adalah melewati lembah yang bercelah sempit.

Ralston berada 150 meter di atas puncak dinding vertikal Bluejohn Canyon. Dia melakukan manuvernya untuk mencapai bagian atas sebuah batu besar yang terselip di antara dinding ngarai sempit. Dia mulai memanjat permukaan batu dan rasanya sangat stabil ketika ia berdiri di atas. Ketika ia mulai turun di sisi yang berlawanan, batu seberat 800-pound (kurang lebih 362 kg) itu tiba-tiba bergeser, menjepit lengan kanannya – ia terjebak.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Sahabat EPICENTRUM