Wednesday, 28 August 2013

MAHAMERU: Perjalanan Menuju Puncak Para Dewa

Sejuta haru menderu…
Beribu kebahagiaan membuncah…
Ukiran senyum tersungging…
Untaian kata syukur terus mengalun…
Mengiringi jemariku menggoresakan kata demi kata…

Ini adalah cerita tentang sebuah perjalanan hati mewujudkan mimpi, penuh cerita indah dan riuh kecerian bersama keluarga baru, menuju satu tempat tertinggi di pulau ini, dengan perjalanan yang penuh kisah tak terperi, untaian doa tak bertepi, dan sebuah harapan mewujudkan mimpi..

Kalaupun perjalanan ini akan berakhir dengan hembusan nafas terakhirku, aku sudah siap untuk itu. Dan selayaknya perjalanan menuju sebuah alam mimpi, akupun dengan sejuta keiklhasan sejenak menutupkan mata lalu perlahan melangkahkan kaki menuju satu tempat yang sudah ku anggap sebagai rumah kedua itu dengan ringan. Kita berasal dari tiada, dan akan kembali ke tiada…

--Mimpi memeluk Semeru—

Dengan puncak Mahameru yang menjulang 3676 meter di atas permukaan laut, menjadikannya sebagai tanah tertinggi di pulau Jawa.

Kawasan Bromo-Semeru
Disinilah tempat Sang Idealis angkatan '66 sekaligus salah satu pendiri Mapala UI "SOE HOK GIE" tutup usia di usia emasnya, tepat satu hari sebelum ulang tahunnya yang ke-27. Disini pula sebuah cerita tentang indahnya persahabatan terukir dalam sebuah tulisan yang telah di visualisasikan 5cm.

Mendadak aku bercerita sedikit lebih dramatis perihal ini, sebuah mimpi yang akan berujung pada titik tertinggi di pulau ini. Puncak abadi para dewa. Sebuah tempat yang tak hanya mengharuskan fisik bergelut dengan alam, tetapi juga lapisan tekad yang menyelimuti hati yang bisa membawa kita kesana.


Meski aku tau kini Semeru bukan lagi milik pendaki gunung atau anak mapala saja. Anak-anak muda dengan potongan seadanya pun bermimpi mendaki puncaknya. Para gadis ABG dengan setelan yang lebih cocok ke mall terengah-engah menapaki Arcopodo. Kini Ranu Kumbolo pun penuh sesak oleh mereka yang ingin merasakan momen saat Genta menyatakan cinta pada Riani. Sebuah ironi yang tercipta karena ingin merasakan apa yang dirasakan 5 sahabat itu saat mendaki Semeru.

Mimpi ini berawal saat aku masih berseragam putih abu-abu. Berwal dari sebuah buku sederhana, dengan cover hitam bertuliskan "5cm" di tengah covernya, di saat itulah keinginan untuk memeluk Semeru bermula. Selama hampir 5 tahun lebih, dengan puluhan kali rencana yang tak pernah jadi nyata, mimpi itu nyaris saja terkubur tanpa aku berharap lagi bisa datang ke sana. Tetapi takdir itu datang tanpa bisa aku duga sebelumnya.

Dan selayaknya manusia yang mengikuti sebuah takdir, akupun mengikutinya, perlahan kuturunkan tas carrier yang berselimut debu karena hampir setengah tahun lebih tergantung rapi di sudut kamar, sebuah kantong tidur, matras dan tenda, serta sepatu gunung yang lama tak bersua dengan pasir giri. Ya, Desemeber tahun lalu nyaris menjadi akhir dari perjalananku bersua dengan alam.

Jelas langkahku tak selembut debu mahameru, ribuan kerikil tanya menghujam ke dalam sanubari, kenapa setelah sekian lama aku diam dalam goa kesibukkan dunia luar aku kembali ke gunung, dan kalaupun harus naik gunung, mengapa harus memilih waktu seperti saat ini? Waktu dimana hampir semua orang masih larut dalam suasana silaturahmi dengan keluarga dan kampung halaman mereka masing-masing.

Hanya ada satu jawaban dalam dada,

“Ini mimpiku, ini mimpi yang hampir 5 tahun terkubur dalam benakku, dan takdirku untuk menjemputnya telah datang, dan aku harus berangkat”

Dengan segenap doa dan ucapan basmalah, setebal balutan restu dari kedua orang tuaku dan sedikit kerelaan dari separuh hatiku disana, akupun melangkah.

--Gerbong Kereta Kelas Satu--

14 Agustus 2013

Madiun; dari kota inilah langkahku mewujudkan mimpi yang tertunda dimulai. Bertepatan dengan hari Pramuka, tepat pukul 05.00 pagi, deru mesin dan dinginnya gerbong kereta Gajayana membawaku, bersama seorang sepupuku (Mas Iful) dan segenggam mimpiku menuju satu kota, yang meski aku tak asing dengannya tapi selalu rindu untuk kembali kesana; Malang.. dalam gerbong Gajayana ini, selama hampir enam jam perjalanan kami akan bersua bersamanya..

suasana dalam gerbong Gajayana
Kereta terus melaju, membelah hamparan sawah dan hutan yang menawan, menembus bukit dalam terowongan yang epik. Alangkah indah dan kaya nya bumi pertiwi. Tetapi sungguh sayang beribu sayang kekayaan bumi ini harus ternoda oleh prestasi korupsi di negeri ini yang terus meroket, mereka (para pelakunya) tak lagi mempedulikan kekayaan bumi khatulistiwa, hanya ada kata “kaya” untuk diri mereka sendiri.

Langit malam pun perlahan memudar, berganti seberkas cahaya jingga di ufuk timur. Sungguh waktu yang sangat sayang untuk dilewatkan begitu saja. Saat dimana sang fajar menggantikan gelapnya malam. Kereta pun menembus dinginnya kabut di tengah rimbunnya ilalang.

pemandangan pagi
Kami pun tak henti mengucap pujian kepada Allah Robbul ‘alamin, atas nikmat keindahan dan kekayaan bumi Indonesia, meski hanya dapat kami nikmati dari dalam gerbong kereta tapi bener-benar menjadi pengalaman tak terlupakan, melihat indahnya matahari terbit dari dalam Gerbong KA Gajayana..

Semburat jingga pun terus mininggi membentuk gradasi cahaya yang cantik. berlatarkan persawahan khas Jawa, dengan keramahan para petaninya yang seolah mengucapkan selamat pagi dari tepi rel kereta, aku sungguh menikmati perjalanan yang indah menuju kota Malang ini.

sunrise dari dalam gerbong
Seolah raga ini tak ingin hanya sekedar duduk manis dan melihat pemandangan dari dalam jendela gerbong kelas satu, aku pun beranjak menuju bordes gerbong, kubuka perlahan pintu itu dan kulongokkan kepalaku keluar untuk sejenak menikmati terpaan angin pagi dan hangatnya sang mentari yang mulai menari di ujung cakrawala.

Pemandangan pedesaan Jawa Timur yang damai menghiasai tepian rel yang aku lewati. Sesaat kembali berganti dengan luasnya hamparan hijau persawahan, di waktu yang lain dua-tiga blok hutan jati menemani laju keretaku. Layaknya sebuah perjalanan hidup, jalur yang ku lewati tak selalu lurus, terkadang kereta berbelok arah mengikuti kontur jalur yang ada. Sungguh pengalaman yang luar biasa, memaknai hidup dari sebuah gerbong kereta kelas 1

keretapun melaju
Setelah menempuh perjalanan hampir 6 jam akhirnya sekitar pukul 10.45 kami berdua pun tiba di stasiun kotabaru Malang, begitu memikatnya kota ini, layaknya magnet bagi para pendaki, membuat kami tidak sendiri membawa tas besar dan penuh dengan beban, tapi hampir ratusan penumpang yang turun di stasiun ini adalah pendaki atau sekedar wisatawan yang hendak melihat keindahan alam di kota Malang.

Angkutan kota pun ikut mengeruk rejeki dari ramainya kota Malang siang itu. Tak kurang dari tiga kali seorang supir angkot menawarkan jasanya mengantar kami langsung ke Tumpang. tapi aku harus menunggu hingga esok hari untuk menuju tempat itu.

stasiun Malang 

--Sahabat=keluarga—

Tanggal 15 Agustus 2013
Jarum jam di tanganku menunjukkan pukul 07.00 pagi. Suap terakhir nasi pecel pagi ini pun telah kuhabiskan, segelas teh manis menjadi penutup sarapan pagiku hari itu. Aku dan mas Iful pun segera mengemasi barang-barang, tas keril yang penuh dengan perlengkapan pun telah menempel di punggung kami. Dari sebuah daerah di samping Universitas Brawijaya, dengan angkot berkode AL aku menuju stasiun kota Malang.

Sekitar pukul 08.00 kami berdua tiba di stasiun untuk menjemput rombongan lain. Ternyata pagi itu stasiun sudah penuh sesak dengan ratusan rombongan yang mau mendaki gunung atau sekedar mau jalan-jalan menikmati indahnya kota Malang. Ratusan orang dengan keril-keril besar dan berwarna warni, menghiasi stasiun Malang hari itu. 

selamat datang di Malang
Kebetulan sekali momen kali ini bertepatan dengan Dirgahayu Indonesia ke 68 th, sudah barang tentu banyak yang ingin ber-upacara dipuncak Gunung, ditambah lagi adanya euforia film 5cm menambah kian ramainya pendaki pagi itu. Tanpa menunggu lama kami pun langsung bergabung dengan 9 orang lainnya yang berangkat dari kota kembang; Bandung. Yang belakangan aku ketahui mereka adalah sekumpulan orang yang gemar jalan-jalan dan naik gunug, yang menamkan timnya dengan sebutan

Summit Traveller.

Semua anggota tim hampir tak ada satu pun yang aku kenal.  Hanya seorang pria yang berperawakan sedikit lebih tambun yang ku kenal, Adi Rosadi, itu pun sebatas perkenalan di dunia maya. Tetapi mendadak ada suara permpuan memenggil namanku, memecah keriuhan yang ada. Ternyata salah seorang anggota tim adalah temanku sewaktu aku kuliah di tingkat satu, Neng Sofi, jadilah kami sedikit bernostalgia di depan pintu keluar stasiun Malang..

menanti rombongan Summit Traveller
Meski belum saling mengenal, layaknya sahabat kecil yang lama tak berjumpa kami pun mulai akrab dan berbagi keseruan, meskipun belum saling mengenal nama satu sama lain. Keakraban yang nyaris tanpa batas layaknya satu keluarga. Kali ini tim kami juga bertambah 5 orang, karena secara kebetulan kami bertemu rombongannya Bang Yudha (seorang kawan dari Indonesian Green Ranger) yang kebetulan membawa rombongan 4 orang.


Teringat ketika aku melakukan ekspedisi ke puncak Slamet, aku bertanya iseng kepada salah satu teman, mengapa begitu mudah bagi para pendaki untuk akrab? Seolah-olah mereka sudah berteman lama atau pernah bertemu sebelumnya. Dia menjawab singkat saja, Karena kita punya satu tujuan yang sama”. Dan buatku jawaban itu cukup mewakili, Apapun alasan para pendaki itu untuk memulai langkah pertamanya, yang jelas kami mempunyai tujuan yang sama.

--Antara Tumpang-Ranu Pani—

Setelah semua berkumpul kami pun bersiap menuju Pasar Tumpang, ibaratnya adalah sebuah gerbang untuk menuju ke Semeru, disini nanti kami akan menyiapkan logistik kelompok yang akan di bawa ke Gunung Semeru, serta melengkapi kelengkapan yang belum lengkap.

dengan men-carter angkot kami pun bersiap menuju Pasar Tumpang


dalam angkot menuju Tumpang
Ternyata perjalanan kami ke Tumpang harus tertunda sesaat. Karena satu orang lagi masih belum menginjakkan kaki di Malang. Info terakhir yang kami dapat, dia masih di dalam gerbong KA Matarmaja, yang saat itu pukul 10.00 rangkaiannya masih di stasiun Blitar..akhirnya dengan berat hati kami meninggalkan Adi untuk menunggu satu orang tersebut. tidak mungkin kita meninggalkannya sedirian saja.

Canda dan tawa terus menemani perjalan kami menuju Tumpang. Bahkan sempat dapet kabar dari Adi bahwa orang yang dia tunggu di stasiun sempat hopeless dan bilang untuk di tinggal saja, dia akan kembali ke Jakarta. "Wah si Middi kalau gak aku tungguin pundung tuh, udah pengen balik ke Jakarta lagi aja dia,hehe" kurang lebih itu info yang kami dapet dari Ado lewat SMS.

Sesampainya di daerah Tumpang rombongan kami pun singgah di rumah Mas Wildan, dia lah yang nanti akan mengantar rombongan kami dengan Jip menuju desa terakhir di kaki Gunung Semeru. Sambil menunggu Jip datang kami semua menyiapkan diri sekali lagi, mengecek perbekalan, dan melengkapi logistik untuk di bawa, karena perjalanan kali ini akan menjadi sebuah perjalanan yang cukup panjang dan tidak teramat mudah untuk dijalani.

di rumah Mas Wildan
eNeng sedang belanja logistik
Layaknya Pasar Tradisional di daerah-daerah lain, Pasar Tumpang menyediakan hampir semua yang kami perlukan. Sayuran segar, jamur, beras, telur ayam, bumbu masak, hingga titipan manset buat Adi ada disini. Aku, Ayi, Om Rey dan Neng sofi memilih menikmati keramaian pasar sambil belanja logistik, sedang anggota lain memilih bercengkrama sambil menyiapkan fisik dan mental mereka di rumah Mas Wildan.

Setelah puas berbelanja di Pasar Tumpang, kami kembali ke basecamp, di rumah yang cukup luas ini dengan ditemani segelas teh manis hangat khas Tumpang kami pun menanti datangnya kuda besi yang akan membawa kami ke Sebuah Gerbang menuju Puncak Para Dewa 

Kurang lebih pukul 13.30 Adi pun datang membawa 1 orang lagi yang jelas aku pun masih asing dengannya. Tapi tak lebih dari 5 menit sambil aku membantu orang tersebut mengemasi ulang barang-barangnya, kami saling mengenal, namanya aslinya Hamidi, tapi "Middi" begitulah dia dipanggil.

Barulah sekitar pukul 15.00 Jip berwarna putih yang gagah, dengan mesin lebih dari 2000 cc tentunya, telah siap membawa kami menuju satu tempat bernama Ranu Pani, menurut info dari Bang Yudha, kita tidak akan diizinkan naik pada malam hari, jadi rencanapun di ubah, yaitu rombongan harus menginap satu malam di Ranu Pani.

bersiap menuju Ranu Pani
Musim hujan telah jauh berlalu, berganti kering kemarau yang sedikit menyengat. Warna kuning yang dominan menemani perjalanan kami, terlihat pada gugur daun dan rumput yang kering, serta butiran debu yang mudah sekali dihasut angin. Praktis dua hal ini umum ditemui di sepanjang perjalanan.



Seiring roda Jip yang terus berputar, sepanjang perjananan dari Tumpang kami di temani perkebunan buah apel khas Malang. Kemudian perlahan berganti ke vegetasi hijau lepas di lereng perbukitan, jalanan naik turun dalam formasi yang terkadang tidak manusiawi, dan sesaat kembali berganti ke hamparan perkebunan. Ketinggian terus bertambah. Mereka menyulap bukit-bukit ini menjadi perkebunan. Manusia memang makhluk paling pintar, sekaligus paling buas dan tak tahu batas.

Lereng-lereng miring yang nyaris tak masuk akal untuk dipijak, di ubahnya menjadi lahan pertanian yang nampak subur dengan hijaunya daun bawang yang dominan menghiasi lahan tersebut, diselingi beberapa gubuk dan pematang, membuatku tertegun sesaat memandang betapa luar biasanya akal dan otak manusia yang mempu mebuat sesuatu yang seolah mustahil, menjadi mungkin.

Semakin ke atas jalan aspal yang kami lalui semakin habis, berganti dengan jalan cor yang tak lagi rata. lubang menghiasi sepanjang jalur, tikungan yang nyaris melingkar dengan tanjakan yang tidak wajar membuat kami yang berdiri berdesakan di atas Jip bagai di putar di sebuah wahana dunia fantasi. Tanpa sabuk pengaman, tanpa pelindung apapun keculai tangan kami sendiri yang erat memegang besi di tas Jip.

Kalian dapet salam dari INDONESIA
Meski begitu sepanjang perjalanan tak hentinya kami dimanjakan dengan panorama alam yang luar biasa indah dan mengagumkan. Seolah ingin mengobati rasa "mabuk" kami yang berdiri di bak belakang, Mas Wildan mnghentikan Jipnya di satu tempat dimana kami dapat menikmati eloknya dinding pegunungan yang mengelilingi Gunung Bromo 

Puas menikmati dan mngabadikan momen di tempat tersebut, perjalanan pun kembali dilanjutkan. Kali ini, masih dengan jalur yang tak kalah ekstrim, perjalanan kami terus menurun, hingga akhirnya tibalah kami di sebuah pemberhentian; Ranu Pani. Ranu Pani adalah desa terakhir di kaki gunung Semeru, Ranu sendiri berarti Danau.

welcome to Ranu Pani
Selepas makan malam kami menyetujui untuk memulai pendakian keesokan harinya, dengan catatan bahwa kita harus berangkat pagi-pagi, maksimal jam 09.00Tidak begitu sulit bagiku untuk beradaptasi dengan dinginnya Desa ini, karena memang sudah cukup akrab diriku dengan alam pegunungan. Ditemani musik dangdut yang tak henti menggaung dari arah perkampungan, aku pun memanjatkan doa sebelum tidur agar malam ini dan hari-hari esok yang akan  ku lalui senantiasa mendapat lindungan dari Allah Robb Semesta Alam.

Bersambung......
disni

2 comments:

  1. ahaaa... aku juga pernah naik jip ini dek, tahun 1994 (kau belum lahir ya dek hahahaa..., just joke). tahun 1995 ke sana lagi, cuma berempat dengan sesama pendaki dari Semarang. whadda wonderful journey

    ReplyDelete
    Replies
    1. waah ada senior nih disini :p
      wah 1994 aku masih mandi di kali kakaaak..wah pasti Semeru masih asri bgt ya,,sekaran dah kaya pasar malem,hehe :p

      Delete

Alangkah lebih bijaksana untuk menyambung silaturahim dipersilahkan meninggalkan jejak berupa komentar,,,terimakasih..^_^