Assalamulaikum
apa kabar kawan EPICENTRUM sekalian..
Aku mau bebagi sedikit artikel nih,,gak sengaja lagi jalan-jalan di dunia maya sekalain blog walking sambil nyari info tentang SOE HOK GIE nemuin artikel ini.
Aku memang salah satu pengagum tokoh mahasiswa yang satu ini, selain dia orang idealis dan tidak mau menyerah pada kemunafikkan, kecintaannya akan alam Indonesia yang menjadikannya salah satu pendiri MAPALA UI membuatku banyak terinspirasi akan gerakan-gerakannya..
Tetapi mungkin memang Yang Maha Kuasa berkehendak lain, seorang Idealis dan kritikus ulung ini tutup usia di pelukan bumi pertiwi di puncak tertinggi Jawa, bersama seorang sahabatnya Idhan Lubis saat sedang melakukan pendakian ke puncak Mahameru.
Tak banyak yang tahu memang kronologis kematiannya, bahkan banyak yang berspekulasi bahwa dia korban dari konspirasi politik, tapi aku percaya kalau memang kematiannya sudah takdir Yang di Atas, dan Gas Beracun Semeru lah yang mengantarkan dirinya dan Idhan kembali ke alam baqa.
Dan artikel ini akan sedikit menceritakan tentang akhir hidup seorang Idealis sekaligus sang Pencinta Alam ini.
Hari ini tepat tanggal 17 Desember 2011, merupakan hari kelahiran Soe
Hok Gie yang ke-69 tahun. Hari dimana sang demonstran lahir, hari dimana
17 Desember 1942 sosok manusia luar biasa dan penuh inspirasi untuk
orang orang di sekitarnya muncul ke permukaaan.
Gue, salah satu atau sebagian kecil dari ribuan bahkan mungkin jutaan pengagum Gie. Awalnya gue gatau Gie siapa, gue gatau apa peran beliau buat negara. Gue gatau apa apa soal beliau. Padahal gue tau sendiri, tiap Imlek atau ada moment peringatan lain film GIE kan selalu di setel di tv kan. Gue pikir itu film soal orang China kebanyakan atau Tionghoa.
Ternyata sekarang gue jadi penggila berat beliau. Penggila berat. Semua buku, bahkan ada kertas brosur dari UI yang ada namanya gue simpen, gue pajang di kaca meja belajar. Gue kecanduan.
Bang Yopin adalah pihak yang mempertemukan gue sama buku Catatan Seorang Demonstran yang udah ga dijual dan emang susah banget nyarinya. Makasih bang! \m/
Gue, salah satu atau sebagian kecil dari ribuan bahkan mungkin jutaan pengagum Gie. Awalnya gue gatau Gie siapa, gue gatau apa peran beliau buat negara. Gue gatau apa apa soal beliau. Padahal gue tau sendiri, tiap Imlek atau ada moment peringatan lain film GIE kan selalu di setel di tv kan. Gue pikir itu film soal orang China kebanyakan atau Tionghoa.
Ternyata sekarang gue jadi penggila berat beliau. Penggila berat. Semua buku, bahkan ada kertas brosur dari UI yang ada namanya gue simpen, gue pajang di kaca meja belajar. Gue kecanduan.
Bang Yopin adalah pihak yang mempertemukan gue sama buku Catatan Seorang Demonstran yang udah ga dijual dan emang susah banget nyarinya. Makasih bang! \m/
Ternyata emang sosok Gie, dan Idhan pastinya, ga
begitu dikenal masyarakat luas. Khususnya Gie, beliau jadi ibarat
'pahlawan yang terlupakan'. Padahal kita bisa lepas dari belenggu orde
lama itu karena Gie itu pasukan baris depan aksi mahasiswa. Cuma Gie
yang berani menentang, cuma Gie yang menjadi motor penggerak mahasiswa.
Seluruh hidupnya ia gunakan untuk kepentingan masyarakat luas. Ia merupakan penentang keras rezim Soekarno. Gue kalo hidup di jaman itu gue juga pasti jadi pengikut dia deh. Ada beberapa hal yang patut digarisbawahi tentang kepemimpinan Soekarno. Tapi yang paling ngena adalah, saat masyarakat makan aja susah, tapi Soekarno malah pesta kemewahan di istana.
Saat ini, dengan keadaan Indonesia yang kayak gini, sangat amat dibutuhkan sosok kayak Gie dan kawan kawan jaman '66. Gie benci banget sama Komunis. Tapi Gie humanis. Siapa juga kan ya yang ga benci sama Komunis, yang benci banget sama PKI pasti banyak kan ya. Tapi Gie mengecam pembunuhan massal yang kejadian di Bali waktu itu. Saat itu juga rakyat yang ketauan komunis dikumpulin di pinggir pantai dan dihujani tembakan. Gue merinding banget baca ceritanya. Banyak manusia yang ga bersalah jadi mati sia sia. Ada lagi pasangan suami-istri yang ditangkap, si suami kakinya atau tangannya udah dipotong nah si suami melihat dengan mata sendiri para tentara yang menyiksanya juga memperkosa istrinya di depan matanya, di depan dia yang lagi sekarat. Hell yeah... Bukan gitu kan caranya menindak mereka yang bersalah?
Waktu kematiannya di puncak Semeru, masih banyak pihak yang mengira kematiannya itu ada unsur politik gitu ada konspirasi politik gitu deh sampa sahabat Gie, Herman Lantang, diinterogasi polisi. Padahal jelas jelas murni kecelakaan. Murni kalo Gie sama Idhan meninggal karena menghirup gas beracun di Mahameru (puncak Semeru). Dulu emang keadaan Semeru ga sebaik sekarang, dulu parah deh seremnya. Sekarang, semenjak tragedi Semeru mungkin banyak pembetulan di sana sini juga hasil dukungan dari semua pecinta alam dan pendaki gunung Indonesia.
Gue sebenernya udah tau kronologis tragedi Semeru. Jadi kan sebenernya Gie sama Idhan itu udah turun, tapi ternyata balik lagi buat nemenin Gie ngambil oleh oleh, batu dan cemara buat kawan kawan FSUI. Nah posisi Idhan dan Gie yang emang jauh lebih di atas, membiarkan mereka menghirup gas beracun yang dibawa hembusan angin.
Nah, karena berhubung gue friend di facebook sama Idhat Shidarama Lubis kakak kandung Idhan yang tau banget sama tragedi Semeru gue merinding aja tau kronologis ceritanya yang gue copas dari statusnya beliau nih ya:
Seluruh hidupnya ia gunakan untuk kepentingan masyarakat luas. Ia merupakan penentang keras rezim Soekarno. Gue kalo hidup di jaman itu gue juga pasti jadi pengikut dia deh. Ada beberapa hal yang patut digarisbawahi tentang kepemimpinan Soekarno. Tapi yang paling ngena adalah, saat masyarakat makan aja susah, tapi Soekarno malah pesta kemewahan di istana.
Saat ini, dengan keadaan Indonesia yang kayak gini, sangat amat dibutuhkan sosok kayak Gie dan kawan kawan jaman '66. Gie benci banget sama Komunis. Tapi Gie humanis. Siapa juga kan ya yang ga benci sama Komunis, yang benci banget sama PKI pasti banyak kan ya. Tapi Gie mengecam pembunuhan massal yang kejadian di Bali waktu itu. Saat itu juga rakyat yang ketauan komunis dikumpulin di pinggir pantai dan dihujani tembakan. Gue merinding banget baca ceritanya. Banyak manusia yang ga bersalah jadi mati sia sia. Ada lagi pasangan suami-istri yang ditangkap, si suami kakinya atau tangannya udah dipotong nah si suami melihat dengan mata sendiri para tentara yang menyiksanya juga memperkosa istrinya di depan matanya, di depan dia yang lagi sekarat. Hell yeah... Bukan gitu kan caranya menindak mereka yang bersalah?
Waktu kematiannya di puncak Semeru, masih banyak pihak yang mengira kematiannya itu ada unsur politik gitu ada konspirasi politik gitu deh sampa sahabat Gie, Herman Lantang, diinterogasi polisi. Padahal jelas jelas murni kecelakaan. Murni kalo Gie sama Idhan meninggal karena menghirup gas beracun di Mahameru (puncak Semeru). Dulu emang keadaan Semeru ga sebaik sekarang, dulu parah deh seremnya. Sekarang, semenjak tragedi Semeru mungkin banyak pembetulan di sana sini juga hasil dukungan dari semua pecinta alam dan pendaki gunung Indonesia.
Gue sebenernya udah tau kronologis tragedi Semeru. Jadi kan sebenernya Gie sama Idhan itu udah turun, tapi ternyata balik lagi buat nemenin Gie ngambil oleh oleh, batu dan cemara buat kawan kawan FSUI. Nah posisi Idhan dan Gie yang emang jauh lebih di atas, membiarkan mereka menghirup gas beracun yang dibawa hembusan angin.
Nah, karena berhubung gue friend di facebook sama Idhat Shidarama Lubis kakak kandung Idhan yang tau banget sama tragedi Semeru gue merinding aja tau kronologis ceritanya yang gue copas dari statusnya beliau nih ya:
Liat kan? Ternyata Idhan menyempatkan shalat maghrib dan menjeelang ajal beliau mengucapkan Al-Fatihah. Yah...merinding lagi kan gue... Sedih sekaligus bangga sama kedua sosok ini :")
Ada lagi nih notes yang dibuat sama friend di fb Bung Idhat juga nih:
Sabtu, awal Februari 2010 Komenk anggota Indonesian Green Ranger datang ke Cibodas membawa obat untuk saya dan sebuah buku berjudul “Soe Hok-Gie” ….sekali lagi! Di samping itu Komenk juga meminta kepada saya untuk menulis tentang buku tersebut. Saya melihat Rudy Badil, Luki Sutrisno Bekti dan Nesy Luntungan tertera di halaman depan buku tersebut. Saya pikir tidak ada salahnya melengkapi catatan-catatan yang mungkin belum ada di buku tersebut. Dan membuat pertama kalinya saya torehkan catatan dari ingatan saya yang masih tersisa 40 tahun yang lalu, sekaligus memenuhi permintaan mulia dari adik saya Komenk.
16 Desember 1969
Sejauh yang saya ingat, hari itu 19 Desember 1969 saya baru pulang dari pendakian selama sepuluh hari (pulang-pergi) di Gunung Kerinci, Jambi. Saya sedang berkunjung ke rumah pacar saya Yunia Srie Wardhanie di jalan Otista III, tak jauh dari rumah saya di Taman Cornel Simajuntak. Ketika itu pukul 17.00, saya dipanggil oleh ayah saya, karena Idhan mengalami musibah di dalam pendakian Gunung Semeru pada tanggal 16 Desember 1969. Sore itu juga saya bersama dengan para ketua Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia Presidium Pusat, antara lain Usman Gumanti, Max Ambon, Yulius Usman, Hasanudin dan lain-lain, berkumpul di markas KAPI Jaya Jalan Merdeka Timur untuk membicarakan semua kemungkinan yang terburuk karena Idhan Lubis, kecuali, masih menjadi ketua presidium Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia pusat, dia juga adalah ketua klub dan pendaki gunung Indonesian Green Ranger yang pertama. Setelah semua langkah antisipasi musibah yang dialami Idhan Lubis diambil alih oleh pimpinan pusat KAPI dan pimpinan KAPI jaya, saya kembali ke Polonia.
20 Desember 1969, dini hari 05.30
Saya bersama paman saya Pitoyo Wandi, berangkat menuju lapangan terbang Kemayoran, di sana saya bertemu dengan Arief Budiman abang dari Soe Hok-Gie. Berita pertama yang diterima dari Rudy Badil menyatakan bahwa Soe sudah positif meninggal dunia sementara Idhan Lubis belum diketahui nasibnya. Pagi itu kami menggunakan pesawat amphibi dari TNI AL ke Surabaya, yang diberikan atas perintah Pangab Jenderal TNI Maraden Pangabean.
20 Desember 1969 siang, kami tiba di Pelabuhan Udara Angkatan Laut Surabaya, kemudian diantar dengan kendaraan jeep menuju Malang dan langsung menuju Gubuk Klakah. Sore harinya saya bertemu Rudy Badil, yang menjelaskan bahwa Soe Hok Gie positif meninggal dunia dan Idhan Lubis belum diketahui nasibnya. Saya membaca surat dari Herman buat Tides, yang menceritakan posisi dan keadaan terakhir di Cemoro Tunggal. Dalam surat tersebut Herman menjelaskan urutan-urutan terjadinya tragedi Hok-Gie dan Idhan Lubis tersebut. Buat saya menjadi jelas Idhan sudah meninggal, bersama Soe. Tetapi bagaimana mereka meninggal, belum jelas sama sekali. Saya sadar bahwa Badil sulit menjelaskan yang sebenarnya, tetapi saya memahaminya. Memang tidak mudah buat Badil menyampaikannya. Saya, Badil, Oom Pitoyo, dan Arief Budiman hanya bisa menunggu dan menunggu.
21 Desember 1969
Helikopter Angkatan Laut terbang berputar sekitar Gubuk Klakah dan Ranu Pane. Hujan deras bagai ditumpahkan dari langit. Dan awan mendung tidak memungkinkan evakuasi jenazah Soe dan Idhan dari Mahameru. Dandim melarang keluarga dekat untuk naik ke Semeru, jadi kami terpaksa diam di Kantor Lurah Gubuk Klakah menunggu. Menurut Badil Tides sudah ke Jakarta, sementara Maman di Rumah Sakit. Sore itu sekitar enam orang dari klub Young Pioneer merapat ke Gubuk Klakah, kemudian menuju Ranu Pane untuk membantu evakuasi. Saya lihat Heroe Soeprapto ada dalam Tim tersebut. Yang lain tidak saya ingat karena waktu itu pukul 20.00 (malam) dan di desa Gubuk Klakah belum ada listrik yang cukup, jadi suasana remang-remang.
22 Desember 1969, dini hari 00.30
Jenazah Soe dan Idhan datang. Waktu itu hujan gerimis, bulan bersinar redup dan awan gelap yang sebelumnya menutup Gubuk Klakah menghilang. Saya lihat Heroe Soeprapto, Herman Lantang, dan Tim tiba di depan Kelurahan. Kemudian jenazah Soe dan Idhan dibawa masuk ke ruang depan Kantor Lurah Gubuk Klakah yang sudah disiapkan untuk menerima kedua jenazah tersebut.
Arief melihat jenazah Soe, sementara saya membuka plastik yang membungkus jenazah Idhan. Saya berbisik “Dhan, Ibu menunggu kamu di Malang. Sebentar lagi pasti datang membawa ambulan menjemput kita”. Saya lihat tangan Idhan sebelah kanan ada di dada, tapi tangan kirinya di posisi sejajar dengan tubuhnya. posisi Idhan memandang jauh ke langit. Saya coba untuk meletakkan tangan kirinya ke dada dan menutup matanya. Tetapi tangannya sudah dingin membeku dan kaku, dan matanya tetap memandang ke langit. Saya berbisik kepada paman saya Pitoyo Wandi ”apakah tangan Idhan bisa diletakkan di dada dan matanya di tutup”? Pak Pitoyo diam dan berkata pelan ”nanti kita cek aja di rumah sakit”.
23 Desember 1969
Pukul 03.30 ambulance datang dan kami berangkat menuju R.S di Malang. Ibu sudah menunggu di sana, lalu jenazah Idhan dipeluk Ibu. Tangannya yang kiri diletakkan Ibu ke dada Idhan dan mata Idhan ditutup Ibu. Tangan itu tidak kaku dan mata itu menutup. Ibu berbisik kepada saya “apakah Idhan masih hidup”? Saya peluk Ibu dan mengatakan kepada Ibu “Idhan sudah pulang Bu”. Mungkin Idhan Cuma mau yang menutup mata dan meletakkan tangannya di dada Ibu”. Ibu terdiam dan membelai rambut Idhan yang terbujur kaku. Malamnya setelah di mandikan di bawa ke rumah duka keluarga di Malang. Karena besok pagi akan dibawa ke Jakarta.
24 Desember 1969 Pagi Pukul 01.00
Ada kepastian dari Ayah saya bahwa jenazah Soe dan Idhan akan diangkut oleh pesawat TNI AU Antonov. Dan dijemput oleh Marsekal Muda DR Soeyoso Soemodimejo atau biasa kami panggil ”Om Yos”. Om Yos adalah dokter keluarga kami yang sejak lama merawat kesehatan saya dan adik-adik. Sekarang Om Yos juga yang menjemput Idhan. Sungguh bukan suatu kebetulan, kecuali atas kehendak-Nya.
Sementara itu adik-adik saya Poeng Lubis dan Piet Lubis sedang memimpin pendakian ke Gunung Ciremai. Saya berdo’a ”ya Alloh! Tolong tunjukkan kebesaranMu agar adik-adik saya yang di Gunung Ciremai tahu, bahwa Idhan meninggal dunia”. Mesin Antonov meraung keras, dan sore itu mendarat dengan selamat di lapangan udara Kemayoran. Ribuan mahasiswa, pelajar, dan pendaki gunung menjemput Soe dan Idhan. Saya, Herman, Badil, dan teman-teman mengawal turunnya jenazah keduanya, turun dari Antonov menuju ambulan yang sudah menunggu.
Perjalanan Soe Ke Rumah Duka di Kebon Jeruk dan Idhan Ke Polonia
Sebelum ke Rawamangun tempat pelepasan jenazah keduanya. Soe Hok Gie dikawal mapala UI dan mahasiswa menuju ke rumah keluarga di Kebon Jeruk. Sementara jenazah Idhan Lubis dikawal teman-teman Indonesian Green Ranger dan Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia ke rumah keluarga di Polonia. Kemudian sekitar pukul 02.30 kedua jenazah disemayamkan di kampus Rawamangun untuk suatu upacara pelepasan terakhir menuju pemakaman Menteng Pulo.
24 Desember 1969 Dari Rawamangun Ke Pemakaman Menteng Pulo
Dari Rawamangun ke Menteng Pulo, aku teringat sebuah tulisan Idhan.
”Selamat Datang Malaikat Isrofil”
Jika keadilan dan kebenaran yang hakiki hanya ada di akhirat
Maka aku berseru kepadaMU.....
.......Panggillah aku bersatu denganMu......
.......Agar aku dapat menyampaikan selamat datang.....
.......Kepada malaikat utusanMu.....Agar aku dapat bersatu denganMU
.......Agar aku dapat menyampaikan selamat datang..........
.......Kepada malaikat utusanMU..........untuk menjemputku
Selamat datang isrofil. Sang El maut, selamat datang sahabat-ku.
Jika keadilan dengan kebenaran yang hakiki tidak ada di bumi ini......
Maka senja akan memeluk malam....agar terang bersatu gelap.
.........agar aku bisa mengatakan selamat datang cahayaMu!
.........senja itukau menghampiriku.....di kesunyian...........
dan sekali lagi aku berseru......Selamat datang sahabatku.
Selamat datang Isrofil Sang El maut.
Lalu aku bersatu dengan keadilan dan kebenaran yang hakiki milik Mu
Lalu datanglah El Maut utusan Mu…lalu aku kembali pada Mu
Dari tiada menjadi ada, dan kembali tiada....Sebuah garis lurus
Bersama Mu.......alangkah indahnya dua garis sejajar yang bertemu
Di satu titik ciptaan Mu
Idhan Lubis 19 April 1968
Dari rumah duka di Polonia, ribuan pelajar mengikuti Idhan sebuah perjalanan terakhir ketua presidium KAPI Pusat menuju Rawamangun. Saya terus bertanya di dalam hati “apakah benar Idhan telah pergi”? Dua peti jenazah Soe Hok Gie dan Idhan Lubis disemayamkan berdampingan lalu konvoi mahasiswa pelajar dari Rawamangun menuju pemakaman Menteng Pulo. Hujan lebat sepanjang jalan menjadi payung sampai Menteng Pulo. Lalu prosesi pemakaman di pemakaman itu berjalan di malam Natal. Hujan gerimis membasahi makam Soe dan Idhan. Aku berbisik dan berdo’a selamat jalan Soe Hok Gie dan Idhan Lubis. Selamat jalan dan sampai bertemu.
Ditulis ulang dari catatan Idhat Sidharama Lubis
Pada Februari, 2010
Oke. Berbahagialah dalam ketiadaanmu. Semoga almarhum Soe Hok Gie dan
Idhan Dhanvantari Lubis selalu tenang dan mendapatkan tempat terbaik di
sisi Tuhan, di dalam surganya yang indah.
Idhan Dhanvantari Lubis
Lahir: Jogjakarta, 19 April 1949
Meninggal: Mahameru, 16 Desember 1969
Jenazah Soe Hok Gie
Lahir: Jakarta, 17 Desember 1942
Meninggal: 16 Desember 1969
No comments:
Post a Comment
Alangkah lebih bijaksana untuk menyambung silaturahim dipersilahkan meninggalkan jejak berupa komentar,,,terimakasih..^_^