Awan mendung diiringi rintik hujan masih terus mebasahi kota Jogja siang itu. Dengan langkah sedikit gontai aku menuju ruang sidang sarjana yang berada di lantai dua kampusku. Dua jam lebih aku menunggu kedatangan Annisa. Minggu sebelumnya dia berjanji akan menemaniku menghadapi sidang tugas akhir skripsi, tapi hingga waktu sidang tiba dia tak kunjung datang.
Sudah hampir satu tahun kami berdua saling mengungkapkan rasa cinta yang ada di dalam hati kami masing-masing dan berncana untuk langsung menikah ketika kami lulus kuliah. Bahkan kami sudah saling mengenalkan orang tua kami masing-masing sebagai bentuk keseriusan hubungan kami.
Kami berdua memang berbeda fakultas. Tidak ada yang istimewa dari perjumpaan pertama kami. Nyaris klise, kami bertemu pertama kali pada saat sedang menjalani KKN (Kuliah Kerja Nyata) di desa yang sama dua tahun yang lalu. Tentu saja awalnya kami professional menjalankan tugas dan program kerja KKN kami, tapi perlahan tumbuh perasaan yang tidak biasa.
Dimulai dari kekagumanku akan pola pikirnya, penampilannya yang selalu anggun dengan jilbab yang tak pernah digulung-gulung, caranya bertutur kata, hingga cara dia dalam bersikap sehari-hari, membuatku semakin tertarik dan mengharapkannya bisa menjadi pendamping hidupku kelak.
“Fariz, apa kamu sudah siap menghadapi sidang skripsi hari ini?” Pertanyaan dosenku memecah lamunanku.
“InsyaAllah saya siap Pak” jawabku dengan tegas dan matap
“Baiklah kalau begitu, mari kita mulai sidangnya”. Dan sidang skripsi pun dimulai.
Pertanyan demi pertanyaan diajukan oleh dosen pembimbing skripsiku dan dosen penguji tamu. Sebagian dapat aku jawab dengan baik dan mantap, tapi beberapa ada yang tak dapat aku jawab dengan tepat. Hingga tak terasa dua jam berlalu, dan sekarang tiba waktunya untuk para dosen memutuskan, apakah akan meluluskanku, atau aku di haruskan mengulang sidang ini.
“Bailakah Fariz, silahkan menunggu di luar sebentar” kata dosen pembimbingku “Kami akan berdiskusi sebelum mengumumkan hasilnya.”
“Baik pak, saya akan menunggu” dan aku pun keluar menuju ruang tunggu yang ada di luar ruang sidang. Ini adalah lima menit paling lama dalam hidupku, menunggu hasil perjuanganku selama kuliah empat tahun, di tambah ke khawatiranku pada Annisa yang tak kunjung datang. Dari ujung koridor terlihat Rani dan Asti berjalan cepat menuju ruang sidang, aku pikir Annisa bersama mereka, tapi ternyata mereka hanya datang berdua.
“Assalamulaikum, gimana Riz sidangnya, lancar kan?, udah diumummin hasilnya?" Tanya Rani.
“Waalaikum salam, Alhamdulillah lancar, ini sedang menunggu keputusan dosen aja kok” jawabku sambil menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal. “Eh, ngomong-ngomong Annisa tidak datang bareng kalian ya??”
“Annisaa…..” Rani terlihat sedikit ragu melanjutkan kata-katanya “Dia hari ini….”
“Fariz silahkan masuk” suara dosenku memutus percakapanku dengan Rani, dan aku pun bergegas masuk ke dalam ruang sidang.
Sebelum dosenku mengumumkan hasilnya, beberapa tanggapan terakhir dan nasihat-nasihat diberikan kepadaku, mulai dari masukkan untuk revisi skripsi hingga persiapan menghadapi dunia kerja dipaparkan bergantian oleh dosen pembimbing dan penguji.
“Baiklah, berdasarkan dari penilaian yang kami lakukan. Dan mengacu dari prestasi akademik saudara Fariz selama menjalani masa perkuliahan, maka kami bersepakat untuk menyatakan saudara Fariz…” Suara dosen pembimbingku sedikit tertahan “Lulus sidang sripsi hari ini!!!”
Mulutku tak dapat banyak berkata, yang aku lakukan hanya sujud syukur dan mengucapkan Hamdallah sedalam-dalamnya, mengucapkan rasa syukurku setinggi-tingginya ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan anugerah terindah hari ini.
Masih dengan kemeja lengan panjang dan dasi biru yang aku gunakan, aku menembus lebatnya hujan yang masih mengguyur kota Jogja sore itu. Aku harus segera ke RS Sardjito. Kata Rani sudah empat hari Annisa dirawat disana. Annisa tak pernah bercerita bahwa dia punya penyakit, selama ini dia selalu kelihatan sehat, meski aku sedikit merasa tiga bulan belakangan dia sering nampak pucat, tapi perilakunya tidak pernah menunjukkan bahwa dia sedang sakit.
Setelah hampir satu minggu aku tidak bertatap muka dengannya, akhirnya sore ini aku dapat kembali melihat senyumnya yang manis. Wajahnya pun masih sama, dengan pipinya yang kemerahan berbalut jilbab berwarna merah muda yang senada dengan bajunya, dia terlihat ceria tapi masih saja terlihat pucat.
Tak ada yang berubah dari Annisa, hanya saja aku melihat tubuhnya sedikit lebih kurus sore itu. Tapi aura keanggunan yang dia miliki selalu dapat mengalahkan itu semua.
“Assalamulaikum Nisa, bagamana keadaan kamu, kamu baik-baik saja kan?” sapa ku sambil sesekali melihat senyumnya.
“Waalaikum salam Mas Fariz” jawab Annisa sambil menyunggingkan senyumnya “Alhamdulillah sudah semakin membaik, insyaAllah besok pagi sudah boleh pulang"..
“Oia bagamana sidang skripsinya?, Nisa mohon maaf ya Mas, tidak bisa menemani Mas Fariz selama sidang.”
Aku yang awalnya merasa sedih karena Annisa tidak menghadiri sidang skripsiku, sekarang sudah dapat tersenyum karena dapat kembali bertemu dengannya, meski keadaannya sekarang dia terbaring di rumah sakit.
“Iya Nisa tidak apa-apa kok, Alhamdulillah Mas lulus sidangnya” Ujarku sambil tersenyum padanya “Sekarang mohon doanya untuk menyelesaikan revisi dan bisa segera wisuda”
“Alhamdulillahirobbil alamin...Pasti selalu Nisa doakan Mas”. jawabnya singkat
Kami berdua pun terus bercakap-cakap dan berbagi cerita. Bersama dengan ibunya yang juga ikut menemani di dalam ruang rawat inap, kami bercerita banyak hal, mulai dari sidang skripsiku, suasanya di rumah sakit yang membosankan, hingga pembicaraan kami tentang rencana pernikahan.
Sore itu Nisa juga bercerita tentang sahabat kecilnya yang meninggal dua hari yang lalu. Kabar itu membuatnya sedikit shock. Konsisinya sempat drop dua hari yang lalu. Dia bercerita bahwa sahabat kecilnya itu meninggal terjatuh dari sepeda motor pada saat hendak pergi ke kampus, padahal masih banyak hal yang ingin Nisa bagi dengan sahabatnya itu, tapi kenapa justru sahabatnya lebih dulu meninggalkannya.
Tapi bukan Annisa orangnya jika tidak dapat mengambil hikmah dari tiap kejadian. Dia mengatakan bahwa kematian itu memang rahasia Allah, bisa terjadi pada siapa saja, di mana saja dan kapan saja, Bahkan saat kita bersembunyi di benteng tertinggi dan paling kokoh sekalipun, jika memang sudah waktunya malaikat israil menjemput, tak sedetikpun kita dapat menghindar.
“Oia, Nisa aku punya sesuatu buat kamu” sambil aku mengeluarkan bingkisan dalam tas ranselku “Maaf minggu kemarin belum sempat memberikannya padamu. Met millad yaa Khumaira” kataku sambil tersenyum.
Annisa pun tersenyum manis dan menerimanya sambil berkata “Syukron mas Fariz.” Dengan sumringah dia pun langsung membukanya. Sebuah kado berisi gelas berwarna putih dengan gambar sepasang merpati dan lambang hati di tengahnya. Gelas itu mengingatkan saat pertama kali kami berdiskusi tentang air di dalam gelas, apakah gelas itu “Setengah Kosong” atau “Setengah isi”. Ya, begitulah kami, selalu bediskusi tentang sebuah filosofi kehidupan.
Awan mendung yang dari pagi menyelimuti kota Jogja, sore itu perlahan mulai menghilang, hujan pun telah reda, dan meninggalkan bekas basah pada setiap tempat yang di sentuhnya. Semburat jingga sudah mulai nampak di ujung barat cakrawala, menandakan bahwa senja telah tiba. Aku pun memohon pamit pada Nisa dan Ibunya, karena kebetulan habis maghrib ada acara kajian di Masjid Kampus.
“Mas pamit dulu ya. Nisa cepat sembuh, biar bisa berkatifitas lagi” kataku sambil tersenyum padanya “Oia, gelas itu ada pasanganya lho, aku simpan di lemari kamarku”
Nisa hanya tersenyum, dan aku pun mohon pamit pada ibunya. Sore itu terasa sangat indah meski ada sedikit rasa sedih karena Annisa yang masih terbaring di kasur rumah sakit. Ah, besok dia sudah boleh pulang, untuk apa aku bersedih, dan aku pun berlalu menembus senja yang masih berhiaskan sedikit awan mendung di langit Jogja.
Pagi itu langit Jogja terlihat sangat indah, matahari bersinar cerah, dan burung-burung kecil bersahutan di teras rumahku. Aku pun sudah bersiap menuju kampus untuk melaksanakan sebuah prosesi yang hampir selalu di tunggu-tunggu oleh semua mahasiswa. Hari itu aku akan di Wisuda, tapi tak sedikitpun terlukis rona kebahagiaan di wajahku, hanya senyum sandiwara yang ku tunjukkan di depan orang tuaku.
Ya, dua hari yang lalu Nisa kembali masuk rumah sakit. Sebuah tanda tanya besar melintas dalam benakku, apa sebenarnya penyakit yang diderita oleh Annisa. Setiap kali aku bertanya dia hanya tersenyum, sambil berkata “Aku sendiri tidak tau Mas, dokternya masih belum mau bilang”
Prosesi wisuda terasa begitu lama bagiku, di dalam pikiranku hanya ingin segera selesai dan menuju rumah sakit untuk menengok Annisa. Di saat semua kawan-kawanku sibuk mengabadikan momen dengan foto bersama, aku sibuk mencari kedua orang tuaku untuk segera mengajak mereka menengok Annisa.
“Assalamualaikum, bagamana kondisi Nisa bu?”. Tanya ku pada ibunya, di depan pintu tempat Annisa di rawat.
“Dia baik-baik saja nak Fariz, sekarang sedang tidur” Jawab ibunya. Nampak ada hal yang masih disembunyikan padaku.
Setelah meminta izin aku pun masuk ke dalam kamar perawatan. Nampak Annisa sedang tidur dengan nyenyak. Selang infuse tertanam di tangan kirinya, sedang tangan kanannya menggenggam tasbih yang dia letakkan di dada. Nampak tabung oksigen di samping tempat tidurnya. Aku pun perlahan mendekatinya, aku keluarkan sebotol Sari Kurma dari dalam ranselku, lalu ku tuangkan dalam gelas putih pemberianku yang ada di meja tempat Annisa berbaring.
Lima belas menit aku menunggu di dalam kamar perawatan, hingga akhirnya Annisa mebuka mata. Aku biarkan dia sesaat memandang ke sekeliling, hingga akhirnya pandangan matanya tertuju padaku. Cukup lama kami saling memandang hingga akhirnya Annisa mulai meneteskan air mata. Tak tau mengapa dia tiba-tiba menangis, tak biasanya Nisa yang kuat dan tegar menangis seperti itu.
“Sudah Nisa jangan menangis, ada Mas Fariz di sini” kataku mencoba menenagkannya “ini mas bawakan sari kurma kesukaan kamu”
Tangisnya semakin menjadi saat melihat senyum tulusku sambil memberinya sari kurma dalam gelas yang ku berikan. Tiba-tiba tanpa aku duga, di tepisnya gelas yang ada di genggamanku hingga terjatuh ke lantai, dan gelas itu pun pecah, kepingannya berserakan di lantai.
“Maafin Nisa mas” Ucapnya di tengah tangisnya “Mulai sekarang Mas tinggalin saja Annisa, aku tak mungkin menemanimu lagi mas”
“Tapi Nisa, kita kan akan segera menikah” jawabku “Bukankah kita sudah berjanji akan menjalani hidup ini berdua apapun masalahnya”
“Sekarang mas Fariz keluar!!” Nada bicaranya sedikit meninggi, membuat ibunya dan orang tuaku begegas masuk ke dalam kamar “Keluar Sekarang!!!!”
Aku sangat terkejut dengan perubahan sikapnya, ingin rasanya memeluknya meredakan emosinya, tapi aku belum jadi siapa-siapanya. Ibunya yang saat itu ada di sampingku hanya bisa berkata, “sudah nak lebih baik kamu keluar dulu”. Akhirnya aku dan kedua orang tuaku keluar meninggalkan Annisa dan ibunya di kamar berdua.
Tak lama kemudian ibunya keluar dari kamar, aku terkesiap, dan hendak menghampiri ibunya, tapi tanganku ditahan oleh ibuku.
“Nak Fariz yang sabar ya…” Ucap ibunya tertahan “Kemarin Annisa di vonis dokter mengidap LEUKEMIA stadium akhir, kata dokter umurnya tak lebih dari dua bulan.”
Aku hanya bisa berdiri terpaku, seperti ada petir di siang hari yang menyambar ubun-ubunku, aku nyaris tak dapat berkata apa-apa, mulut ini terasa sangat kaku. Tanpa sadar air mataku menetes, tapi tetap coba ku tahan agar tak membasahi pipi ini.
Tapi aku percaya bahawa urusan umur ada di tangan Allah. Dokter boleh saja berkata umur Annisa tidak lama, tapi tetap umur itu rahasia Allah. Aku percaya bahwa Annisa masih bisa hidup seribu tahun lagi. Seperti kami selalu optimis bahwa air dalam gelas itu setengah isi.
Kesokan harinya kondisi Annisa berangsur stabil. Emosinya sudah mulai terkontrol. Kondisi itu yang di kabarkan ibunya padaku lewat pesan singkat. Dan pagi itu pula sebuah pesan singkat dari Annisa masuk ke dalam inbox telepon genggamku.
“Mas, maafkan Nisa kemarin. Kondisiku benar-benar shock mengetahui kebenaran ini. Bukan Nisa mau menolak takdir Allah, tapi Nisa hanya tidak mau mengecewakan Mas Fariz. Mas masih punya kesempatan untuk bisa mendapatkan calon istri yang bisa membahagian Mas. Aku tak mungkin bisa melakukannya. Cepat atau lambat aku akan segera menghadap Illahi. Aku hanya tak ingin Mas kecewa, makanya aku minta untuk Mas Fariz meninggalkan aku, dan mulai berfikir mencari penggantiku. Maafkan juga tentang gelasnya, gara-gara aku gelas itu jadi pecah. Terimakasih sebelumnya akan pengertiannya. –Nisa—
Aku terdiam membaca pesan yang dikirimkan oleh Annisa. Kuambil ransel di atas meja kamarku dan bergegas menuju Rumah Sakit menemui Annisa.
Di rumah sakit aku lihat ibunya baru saja keluar meninggalkan kamar Annisa. Setelah meminta izin, aku pun masuk ke dalam kamarnya sambil membawa gelas yang sama yang pernah ku berikan padanya. Sebuah gelas berwarna putih dengan gambar sepasang merpati sebagai symbol kesetiaan dan lambing hati sebagai tanda cinta.
“Asslamulaikum, Nisa lihat apa yang Mas bawa” kataku sambil memegang gelas putih itu “Mas kan sudah pernah bilang kalau mas masih punya pasangannya, tolong kamu terima ini dan tolong jangan kamu pecahkan lagi ya”
Sambil sedikit tersenyum Nisa mengambil gelas itu dari tanganku dan melihat isinya. Perlahan air matanya menetes. Kali ini aku melihat air mata itu bukan air mata penyesalan atau kemarahan, tapi itu air mata haru. Dan ditengah keharuan nya aku pun membisikkan kata di telinganya.
“Will You Marry Me Yaa Khumaira”Nisa pun mengangguk pelan dan mengeluarkan benda yang ada di dalam gelas yang aku berikan. Sebuah tempat kecil berbentuk hati berwarna merah, berisi sebuah cincin emas yang sengaja aku masukkan ke dalam gelas itu. Kami selalu punya kenangan dengan gelas itu, saat kami berdebat tentang setengah kosong dan setengah isi. Itu hal paling tidak dapat kami lupakan.
Dan setelah diskusi singkat antara aku Nisa dengan ibunya, kami sepakat untuk menikahi esok hari. Tak perlu banyak yang di undang, hanya butuh wali yang akan di serahkan kepada paman Annisa, karena ayah Nisa sudah lama meninggal. Kemudian kedua orang tuaku, dan beberapa family sebagi saksi. Kami berdua juga sepakat mengundang Rani dan Asti sebagai saksi, karena mereka teman dekat Annisa. Untuk urusan catatan sipil, kami tidak memikirkannya dahulu, itu dapat di urus setelah Nisa sembuh dan keluar dari rumah sakit.
Akhirnya hari yang kami tunggu pun tiba. Pagi itu suasana begitu syahdu, mentari bersinar begitu menawan dan tidak begitu terik. Di samping tempat tidur Annisa pun telah disiapkan sebuah meja kecil dengan sebuah gelas dan cincin emas diatasnya sebagai mas kawin yang akan ku berikan pada Annisa.
Orang-orang yang kami undang sebagai saksi pun sudah datang. Ibu dan Paman Annisa pun telah menungguku dan kedua orang tuaku di depan puntu kamar. Dengan senyum di wajahku, didampingi ayah dan ibuku akupun masuk ke dalam kamar itu.
Kulihat Nisa duduk diatas tempat tidurnya didampingi Rani dan Asti. Wajahnya begitu bercahaya, dengan gaun abaya berwarna biru muda, serasi dengan jilbab panjangnya, membuatnya terlihat begitu cantik laksana bidadari yang turun syurga. Dan tidak menunggu waktu lama acara akad nikah pun dimulai. Pamannya mulai mengucapkan kalimat untuk menikahkan kami, dan dengan mantap aku pun menjawab.
Masih dalam suasana haru, aku pun berdiri untuk menghampiri Annisa di tempat tidurnya, sambil membawa gelas berisi sari kurma, dan cincin emas, yang akan aku pasangkan di jari manisnya. Hampir-hampir aku tak percaya bahwa hari ini, gadis yang selama ini hanya bisa aku sentuh dalam angan, kini aku dapat mengecup keningnya dan memasangkan cincin di jari manisnya, yang menandakan sekarang dia telah menjadi bidadari dalam kehidupanku.
Setelah aku mengecup keningnya aku pun berkata.
“Nisa, sungguh aku mencintaimu karena Allah, aku berjanji akan selalu ada di sisi mu sampai ajal yang memisahkan kita, aku akan terus menjagamu, menemani setiap hari-harimu, dan mengisi hari-hari kita dengan kebahagiaan”
Air mata haru menetes di pipinya, dengan suaranya yang lirih dia pun mengucapkan sesuatu.
“Amiiin mas, semaoga Allah juga mencintaimu, karena kamu telah mencintaiku karena Nya” di pegannya gelas berisi sari kurma itu dan diminumkannya kepadaku.
Tak terasa pagi pun berlalu, Azan Zuhur pun berkumandang, beberpa famili dan teman-teman kami telah pamit untuk pulang, sedang orang tuaku bersama paman dan ibu Annisa menunggu di luar. Tinggal kami berdua di dalam kamar, terasa sangat canggung awalnya saat aku menggenggam tangannya. Tapi perlahan kami mulai terbiasa, kami berdua saling bercanda, meski lama-kelaman ku lihat kondisi Nisa terlihat semakin lemah.
“Sudah dik Nisa, sekarang kamu istirahat, tidur dulu ya sayang” sambil aku turunkan sandaran kasurnya.
“Tapi aku kan belum sholat zuhur mas” kata Nisa lirih “Mas mau kan pimpin sholat zuhur, aku mau mas imamin aku” nadanya begitu manja dan dihiasi senyum manisnya.
“Baiklah sayang, aku ambil air wudhu dulu, kamu tayamum sambil nunggu aku ya”
Setelah aku wudhu dan Nisa selesai Tayamum kami berdua pun melaksanakan sholat zuhur berjamaah. Aku gelar sajadahku di samping tempat tidur Nisa, dan nisa pun mengikuti semua gerakanku dengan isyarat sambil berbaring di atas kasurnya. Setelah selaesai sholat aku pimpin doa dan Nisa mengamini doaku. Kemudian aku pun berdiri menuju tempat tidurnya, dan Nisa pun mencium tanganku.
“Sudah sekarang kamu tidur dulu ya sayang” kataku lembut “Nanti kalau sudah ashar mas bangunin kamu”
Annisa tidak menjawah, hanya mengangguk kecil dan sedikit tersenyum lalu mulai memejamkan matanya. Aku pun meninggalkan tempat tidurnya, menuju sofa yang ada di ujung kamar, mungkin karena aku yang terlalu lelah akhirnya aku pun tertidur di sofa itu.
Sayup sayup terdengar azan ashar berkumandang dari masjid yang ada di dekat rumah sakit, dan aku pun mendadak terbangun. Entah apa yang menuntunku, membuatku melangkah sedikit tergesa menuju tempat tidur nisa untuk segera membangunkannya. Aku pun memegang tangannya sambil memanggil namanya. Tapi tak ada reaksi, aku pun mulai khawatir karena tangannya begitu dingin. Sambil terus memanggil namanya aku raba pergelangan tanganya.
“Tidaaaakkk” aku tidak bisa berasakan denyut nadinya “Nisaaa banguuun Nisaa !!!” sambil terus ku goncang-goncang tubuhnya, teriakkanku yang semakin kencang membuat kedua orang tuaku, ibu dan paman Annisa segera masuk ke dalam kamar.
“Aku tidak bisa merasakan denyut nadi Annisa” Kataku pada mereka dengan mata berkaca-kaca.
Ibu Annisa langsung memeluk tubuh anaknya, dan ayahku berbegas berlari memanggil perawat dan dokter jaga. Barangkali ada tindakan yang masih bisa dilakukan. Aku hanya bisa berdiri mematung memandang ibunya yang terus memeluk tubuh Annisa. Tanganku masih terus menggoyang-goyangkan kakinya berharap dia cuma tertidur.
Hingga akhirnya dokerpun datang, kami semua diminta untuk keluar sebentar. Aku bersikeras untuk ada di dalam, tapi ini prosedur yang harus diikuti. Dengan hati yang kacau, dan perasaan yang sangat tak menentu kami pun menunggu di luar hingga dokter memanggilku dan ibunya untuk masuk ke dalam ruangan. Kulihat Wajah nisa begitu pucat, dan tangannya telah di lingkarkan di atas dadanya
“Maaf, kami sudah berusaha hingga sejauh ini” kata dokter tertahan “Tapi Allah punya kehendak lain, Ibu dan Mas yang sabar, saudari Annisa sudah meninggal”
Seketika itu air mataku menetes, kali ini tidak bisa ku tahan lagi dan mengalir membasahi pipiku, ibunya langsung memeluk tubuh Annisa, aku pun terus memegangi tangan Annisa yang sudah sedingin es.
Inna lillahi wa inna illaihi rojiun
Sesungguhnya semua adalah milik Allah, dan hanya kepada dialah semua akan kembali. Air mataku terus menetes, tapi coba untuk ku tahan karena aku tau tidak baik meratapi orang yang telah meninggal. Aku pun sedikit menguatkan hati untuk menenangkan ibunya. Aku minta ibunya untuk duduk di sofa, sedang aku bersiap untuk mengurus jenazah Nisa.
Ibunya terus menangis dalam pelukan ibuku. Aku sendiri masih duduk sambil menahan air mataku di depan jasad Nisa. Ingin rasanya aku berlari mengejar bayangan Nisa yang menjauh memenuhi panggilanNya. Tangan Nisa yang mulai kaku dan sedingin es tak ku pedulikan, yang ku lihat hanya bayangan wajah Annisa yang seolah tersenyum kepadaku sambil berkata
“Mas Fariz, maafkan aku tak bisa menemanimu lebih lama, kuatkan dirimu, hadapi hidup ini dengan tegar”. Kemudian aku pun memeluk tubuhnya untuk yang perama dan terakhir.
Aku tak pernah menyangka bahwa siang itu, ketulusan Nisa memintaku untuk mengimaminya sholat zuhur ternyata menjadi sholatnya yang terakhir. Siang itu pula menjadi saat pertama dan terakhir kami sholat berjamaah bersama. Dan kini aku berdiri di depan tubuh Nisa yang telah terbungkus kafan, menjadi imam sholat jenazah untuk Annisa, meski sesak dada ini, aku coba untuk tegar dan mengikhlaskan semua yang telah terjadi.
Selepas pemakaman ibunya menghampiriku dan memelukku dengan erat. Sambil terus mengatakan terimaksih telah membahgiakan Annisa hingga saat terakhirnya. Aku tak dapat berkata-kata, hanya berusaha untuk menenangkan hati ibunya. Dan ibunya pun menyerahkan sepucuk surat padaku.
“Nak Fariz, Ibu menemukan ini di dalam saku pakaian Annisa” kata ibunya “Di depannya ada tulisan ‘Untuk Mas Fariz, jangan dibaca hingga Allah memanggilku’ mungkin Nisa ingin menyampaikan sesuatu yang belum sempat terucap untukmu”
Perlahan ku buka sepucuk surat dengan amplop berwarna merah jambu itu, dan aku pun mulai membaca isinya. Dan ternyata surat itu di tulis Annisa malam sebelum kami menikah, malam sebelum dia menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Untuk: Mas Fariz tersayang
..terimakasih mas selama ini mas sudah banyak meberikan warna yang dalam kehidupanku.. menemani setiap diskusi-diskusi panjangku.. bercerita tentang filosofi-filosofi kehidupan.. terimakasih juga sudah mau jadi malaikat penghibur di saat-saat terakhirku.. Aku membayangkan saat Mas Fariz mengetahui kondisiku, mas pasti akan kecewa padaku.. makanya aku minta mas untuk meninggalkanku.. tapi ternyata tidak, justru mas datang membawa sebuah gelas penuh kenangan antara kita, berisi cincin dan mengajakku menikah.. itu adalah hal paling manis dalam kehidupanku.. Mas Fariz jangan sedih ya, masih banyak perempuan yang jauh lebih baik dari Nisa.. Mas orang baik, harus punya pendamping yang baik juga.. cincin yang kamu berikan aku kemabalikan padamu, berikan kepada wanita yang pantas menemanimu hingga ujung usiamu nanti.. dan tolong simpan gelas itu ya mas, tapi jika kamu sedih menyimpannya pecahkan saja tidak apa-apa, aku juga tidak mau membebani pikiranmu.. walau dunia kita sudah beda… aku akan tetep ada di hati kamu kan sayang, janji… aku akan selalu disamping kamu… mungkin Nisa memang bukan jodohmu di dunia, tapi Nisa bisa saja jadi jodohmu di surga kelak… Nisa Mohon Maaf andai selama ini aku dan keluarga sudah banyak merepotkanmu..
Yang mencintai ketulusanmu : Annisa
Surat itu benar-benar menguatkan hatiku. Aku tau, aku tak mungkin dapat melupakan Annisa begitu saja, tapi aku harus tetap tegar melangkah, untuk memulai babak baru dalam kehidupanku. Dan akan kusimpan gelas itu sebagai sebuah bagian dari sebuah episode dalam kehidupanku, dan dalam setiap doaku akan selalu ku sebut namanya agar dia mendapatkan tempat yang baik di sisi Nya, dan berharap kami bisa bertemu lagi di jannah Nya..
Sudah hampir satu tahun kami berdua saling mengungkapkan rasa cinta yang ada di dalam hati kami masing-masing dan berncana untuk langsung menikah ketika kami lulus kuliah. Bahkan kami sudah saling mengenalkan orang tua kami masing-masing sebagai bentuk keseriusan hubungan kami.
Kami berdua memang berbeda fakultas. Tidak ada yang istimewa dari perjumpaan pertama kami. Nyaris klise, kami bertemu pertama kali pada saat sedang menjalani KKN (Kuliah Kerja Nyata) di desa yang sama dua tahun yang lalu. Tentu saja awalnya kami professional menjalankan tugas dan program kerja KKN kami, tapi perlahan tumbuh perasaan yang tidak biasa.
Dimulai dari kekagumanku akan pola pikirnya, penampilannya yang selalu anggun dengan jilbab yang tak pernah digulung-gulung, caranya bertutur kata, hingga cara dia dalam bersikap sehari-hari, membuatku semakin tertarik dan mengharapkannya bisa menjadi pendamping hidupku kelak.
“Fariz, apa kamu sudah siap menghadapi sidang skripsi hari ini?” Pertanyaan dosenku memecah lamunanku.
“InsyaAllah saya siap Pak” jawabku dengan tegas dan matap
“Baiklah kalau begitu, mari kita mulai sidangnya”. Dan sidang skripsi pun dimulai.
Pertanyan demi pertanyaan diajukan oleh dosen pembimbing skripsiku dan dosen penguji tamu. Sebagian dapat aku jawab dengan baik dan mantap, tapi beberapa ada yang tak dapat aku jawab dengan tepat. Hingga tak terasa dua jam berlalu, dan sekarang tiba waktunya untuk para dosen memutuskan, apakah akan meluluskanku, atau aku di haruskan mengulang sidang ini.
“Bailakah Fariz, silahkan menunggu di luar sebentar” kata dosen pembimbingku “Kami akan berdiskusi sebelum mengumumkan hasilnya.”
“Baik pak, saya akan menunggu” dan aku pun keluar menuju ruang tunggu yang ada di luar ruang sidang. Ini adalah lima menit paling lama dalam hidupku, menunggu hasil perjuanganku selama kuliah empat tahun, di tambah ke khawatiranku pada Annisa yang tak kunjung datang. Dari ujung koridor terlihat Rani dan Asti berjalan cepat menuju ruang sidang, aku pikir Annisa bersama mereka, tapi ternyata mereka hanya datang berdua.
“Assalamulaikum, gimana Riz sidangnya, lancar kan?, udah diumummin hasilnya?" Tanya Rani.
“Waalaikum salam, Alhamdulillah lancar, ini sedang menunggu keputusan dosen aja kok” jawabku sambil menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal. “Eh, ngomong-ngomong Annisa tidak datang bareng kalian ya??”
“Annisaa…..” Rani terlihat sedikit ragu melanjutkan kata-katanya “Dia hari ini….”
“Fariz silahkan masuk” suara dosenku memutus percakapanku dengan Rani, dan aku pun bergegas masuk ke dalam ruang sidang.
Sebelum dosenku mengumumkan hasilnya, beberapa tanggapan terakhir dan nasihat-nasihat diberikan kepadaku, mulai dari masukkan untuk revisi skripsi hingga persiapan menghadapi dunia kerja dipaparkan bergantian oleh dosen pembimbing dan penguji.
“Baiklah, berdasarkan dari penilaian yang kami lakukan. Dan mengacu dari prestasi akademik saudara Fariz selama menjalani masa perkuliahan, maka kami bersepakat untuk menyatakan saudara Fariz…” Suara dosen pembimbingku sedikit tertahan “Lulus sidang sripsi hari ini!!!”
Mulutku tak dapat banyak berkata, yang aku lakukan hanya sujud syukur dan mengucapkan Hamdallah sedalam-dalamnya, mengucapkan rasa syukurku setinggi-tingginya ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan anugerah terindah hari ini.
***
Masih dengan kemeja lengan panjang dan dasi biru yang aku gunakan, aku menembus lebatnya hujan yang masih mengguyur kota Jogja sore itu. Aku harus segera ke RS Sardjito. Kata Rani sudah empat hari Annisa dirawat disana. Annisa tak pernah bercerita bahwa dia punya penyakit, selama ini dia selalu kelihatan sehat, meski aku sedikit merasa tiga bulan belakangan dia sering nampak pucat, tapi perilakunya tidak pernah menunjukkan bahwa dia sedang sakit.
Setelah hampir satu minggu aku tidak bertatap muka dengannya, akhirnya sore ini aku dapat kembali melihat senyumnya yang manis. Wajahnya pun masih sama, dengan pipinya yang kemerahan berbalut jilbab berwarna merah muda yang senada dengan bajunya, dia terlihat ceria tapi masih saja terlihat pucat.
Tak ada yang berubah dari Annisa, hanya saja aku melihat tubuhnya sedikit lebih kurus sore itu. Tapi aura keanggunan yang dia miliki selalu dapat mengalahkan itu semua.
“Assalamulaikum Nisa, bagamana keadaan kamu, kamu baik-baik saja kan?” sapa ku sambil sesekali melihat senyumnya.
“Waalaikum salam Mas Fariz” jawab Annisa sambil menyunggingkan senyumnya “Alhamdulillah sudah semakin membaik, insyaAllah besok pagi sudah boleh pulang"..
“Oia bagamana sidang skripsinya?, Nisa mohon maaf ya Mas, tidak bisa menemani Mas Fariz selama sidang.”
Aku yang awalnya merasa sedih karena Annisa tidak menghadiri sidang skripsiku, sekarang sudah dapat tersenyum karena dapat kembali bertemu dengannya, meski keadaannya sekarang dia terbaring di rumah sakit.
“Iya Nisa tidak apa-apa kok, Alhamdulillah Mas lulus sidangnya” Ujarku sambil tersenyum padanya “Sekarang mohon doanya untuk menyelesaikan revisi dan bisa segera wisuda”
“Alhamdulillahirobbil alamin...Pasti selalu Nisa doakan Mas”. jawabnya singkat
Kami berdua pun terus bercakap-cakap dan berbagi cerita. Bersama dengan ibunya yang juga ikut menemani di dalam ruang rawat inap, kami bercerita banyak hal, mulai dari sidang skripsiku, suasanya di rumah sakit yang membosankan, hingga pembicaraan kami tentang rencana pernikahan.
Sore itu Nisa juga bercerita tentang sahabat kecilnya yang meninggal dua hari yang lalu. Kabar itu membuatnya sedikit shock. Konsisinya sempat drop dua hari yang lalu. Dia bercerita bahwa sahabat kecilnya itu meninggal terjatuh dari sepeda motor pada saat hendak pergi ke kampus, padahal masih banyak hal yang ingin Nisa bagi dengan sahabatnya itu, tapi kenapa justru sahabatnya lebih dulu meninggalkannya.
Tapi bukan Annisa orangnya jika tidak dapat mengambil hikmah dari tiap kejadian. Dia mengatakan bahwa kematian itu memang rahasia Allah, bisa terjadi pada siapa saja, di mana saja dan kapan saja, Bahkan saat kita bersembunyi di benteng tertinggi dan paling kokoh sekalipun, jika memang sudah waktunya malaikat israil menjemput, tak sedetikpun kita dapat menghindar.
“Oia, Nisa aku punya sesuatu buat kamu” sambil aku mengeluarkan bingkisan dalam tas ranselku “Maaf minggu kemarin belum sempat memberikannya padamu. Met millad yaa Khumaira” kataku sambil tersenyum.
Annisa pun tersenyum manis dan menerimanya sambil berkata “Syukron mas Fariz.” Dengan sumringah dia pun langsung membukanya. Sebuah kado berisi gelas berwarna putih dengan gambar sepasang merpati dan lambang hati di tengahnya. Gelas itu mengingatkan saat pertama kali kami berdiskusi tentang air di dalam gelas, apakah gelas itu “Setengah Kosong” atau “Setengah isi”. Ya, begitulah kami, selalu bediskusi tentang sebuah filosofi kehidupan.
Awan mendung yang dari pagi menyelimuti kota Jogja, sore itu perlahan mulai menghilang, hujan pun telah reda, dan meninggalkan bekas basah pada setiap tempat yang di sentuhnya. Semburat jingga sudah mulai nampak di ujung barat cakrawala, menandakan bahwa senja telah tiba. Aku pun memohon pamit pada Nisa dan Ibunya, karena kebetulan habis maghrib ada acara kajian di Masjid Kampus.
“Mas pamit dulu ya. Nisa cepat sembuh, biar bisa berkatifitas lagi” kataku sambil tersenyum padanya “Oia, gelas itu ada pasanganya lho, aku simpan di lemari kamarku”
Nisa hanya tersenyum, dan aku pun mohon pamit pada ibunya. Sore itu terasa sangat indah meski ada sedikit rasa sedih karena Annisa yang masih terbaring di kasur rumah sakit. Ah, besok dia sudah boleh pulang, untuk apa aku bersedih, dan aku pun berlalu menembus senja yang masih berhiaskan sedikit awan mendung di langit Jogja.
***
Pagi itu langit Jogja terlihat sangat indah, matahari bersinar cerah, dan burung-burung kecil bersahutan di teras rumahku. Aku pun sudah bersiap menuju kampus untuk melaksanakan sebuah prosesi yang hampir selalu di tunggu-tunggu oleh semua mahasiswa. Hari itu aku akan di Wisuda, tapi tak sedikitpun terlukis rona kebahagiaan di wajahku, hanya senyum sandiwara yang ku tunjukkan di depan orang tuaku.
Ya, dua hari yang lalu Nisa kembali masuk rumah sakit. Sebuah tanda tanya besar melintas dalam benakku, apa sebenarnya penyakit yang diderita oleh Annisa. Setiap kali aku bertanya dia hanya tersenyum, sambil berkata “Aku sendiri tidak tau Mas, dokternya masih belum mau bilang”
Prosesi wisuda terasa begitu lama bagiku, di dalam pikiranku hanya ingin segera selesai dan menuju rumah sakit untuk menengok Annisa. Di saat semua kawan-kawanku sibuk mengabadikan momen dengan foto bersama, aku sibuk mencari kedua orang tuaku untuk segera mengajak mereka menengok Annisa.
“Assalamualaikum, bagamana kondisi Nisa bu?”. Tanya ku pada ibunya, di depan pintu tempat Annisa di rawat.
“Dia baik-baik saja nak Fariz, sekarang sedang tidur” Jawab ibunya. Nampak ada hal yang masih disembunyikan padaku.
Setelah meminta izin aku pun masuk ke dalam kamar perawatan. Nampak Annisa sedang tidur dengan nyenyak. Selang infuse tertanam di tangan kirinya, sedang tangan kanannya menggenggam tasbih yang dia letakkan di dada. Nampak tabung oksigen di samping tempat tidurnya. Aku pun perlahan mendekatinya, aku keluarkan sebotol Sari Kurma dari dalam ranselku, lalu ku tuangkan dalam gelas putih pemberianku yang ada di meja tempat Annisa berbaring.
Lima belas menit aku menunggu di dalam kamar perawatan, hingga akhirnya Annisa mebuka mata. Aku biarkan dia sesaat memandang ke sekeliling, hingga akhirnya pandangan matanya tertuju padaku. Cukup lama kami saling memandang hingga akhirnya Annisa mulai meneteskan air mata. Tak tau mengapa dia tiba-tiba menangis, tak biasanya Nisa yang kuat dan tegar menangis seperti itu.
“Sudah Nisa jangan menangis, ada Mas Fariz di sini” kataku mencoba menenagkannya “ini mas bawakan sari kurma kesukaan kamu”
Tangisnya semakin menjadi saat melihat senyum tulusku sambil memberinya sari kurma dalam gelas yang ku berikan. Tiba-tiba tanpa aku duga, di tepisnya gelas yang ada di genggamanku hingga terjatuh ke lantai, dan gelas itu pun pecah, kepingannya berserakan di lantai.
“Maafin Nisa mas” Ucapnya di tengah tangisnya “Mulai sekarang Mas tinggalin saja Annisa, aku tak mungkin menemanimu lagi mas”
“Tapi Nisa, kita kan akan segera menikah” jawabku “Bukankah kita sudah berjanji akan menjalani hidup ini berdua apapun masalahnya”
“Sekarang mas Fariz keluar!!” Nada bicaranya sedikit meninggi, membuat ibunya dan orang tuaku begegas masuk ke dalam kamar “Keluar Sekarang!!!!”
Aku sangat terkejut dengan perubahan sikapnya, ingin rasanya memeluknya meredakan emosinya, tapi aku belum jadi siapa-siapanya. Ibunya yang saat itu ada di sampingku hanya bisa berkata, “sudah nak lebih baik kamu keluar dulu”. Akhirnya aku dan kedua orang tuaku keluar meninggalkan Annisa dan ibunya di kamar berdua.
Tak lama kemudian ibunya keluar dari kamar, aku terkesiap, dan hendak menghampiri ibunya, tapi tanganku ditahan oleh ibuku.
“Nak Fariz yang sabar ya…” Ucap ibunya tertahan “Kemarin Annisa di vonis dokter mengidap LEUKEMIA stadium akhir, kata dokter umurnya tak lebih dari dua bulan.”
Aku hanya bisa berdiri terpaku, seperti ada petir di siang hari yang menyambar ubun-ubunku, aku nyaris tak dapat berkata apa-apa, mulut ini terasa sangat kaku. Tanpa sadar air mataku menetes, tapi tetap coba ku tahan agar tak membasahi pipi ini.
Tapi aku percaya bahawa urusan umur ada di tangan Allah. Dokter boleh saja berkata umur Annisa tidak lama, tapi tetap umur itu rahasia Allah. Aku percaya bahwa Annisa masih bisa hidup seribu tahun lagi. Seperti kami selalu optimis bahwa air dalam gelas itu setengah isi.
***
Kesokan harinya kondisi Annisa berangsur stabil. Emosinya sudah mulai terkontrol. Kondisi itu yang di kabarkan ibunya padaku lewat pesan singkat. Dan pagi itu pula sebuah pesan singkat dari Annisa masuk ke dalam inbox telepon genggamku.
“Mas, maafkan Nisa kemarin. Kondisiku benar-benar shock mengetahui kebenaran ini. Bukan Nisa mau menolak takdir Allah, tapi Nisa hanya tidak mau mengecewakan Mas Fariz. Mas masih punya kesempatan untuk bisa mendapatkan calon istri yang bisa membahagian Mas. Aku tak mungkin bisa melakukannya. Cepat atau lambat aku akan segera menghadap Illahi. Aku hanya tak ingin Mas kecewa, makanya aku minta untuk Mas Fariz meninggalkan aku, dan mulai berfikir mencari penggantiku. Maafkan juga tentang gelasnya, gara-gara aku gelas itu jadi pecah. Terimakasih sebelumnya akan pengertiannya. –Nisa—
Aku terdiam membaca pesan yang dikirimkan oleh Annisa. Kuambil ransel di atas meja kamarku dan bergegas menuju Rumah Sakit menemui Annisa.
Di rumah sakit aku lihat ibunya baru saja keluar meninggalkan kamar Annisa. Setelah meminta izin, aku pun masuk ke dalam kamarnya sambil membawa gelas yang sama yang pernah ku berikan padanya. Sebuah gelas berwarna putih dengan gambar sepasang merpati sebagai symbol kesetiaan dan lambing hati sebagai tanda cinta.
“Asslamulaikum, Nisa lihat apa yang Mas bawa” kataku sambil memegang gelas putih itu “Mas kan sudah pernah bilang kalau mas masih punya pasangannya, tolong kamu terima ini dan tolong jangan kamu pecahkan lagi ya”
Sambil sedikit tersenyum Nisa mengambil gelas itu dari tanganku dan melihat isinya. Perlahan air matanya menetes. Kali ini aku melihat air mata itu bukan air mata penyesalan atau kemarahan, tapi itu air mata haru. Dan ditengah keharuan nya aku pun membisikkan kata di telinganya.
“Will You Marry Me Yaa Khumaira”Nisa pun mengangguk pelan dan mengeluarkan benda yang ada di dalam gelas yang aku berikan. Sebuah tempat kecil berbentuk hati berwarna merah, berisi sebuah cincin emas yang sengaja aku masukkan ke dalam gelas itu. Kami selalu punya kenangan dengan gelas itu, saat kami berdebat tentang setengah kosong dan setengah isi. Itu hal paling tidak dapat kami lupakan.
Dan setelah diskusi singkat antara aku Nisa dengan ibunya, kami sepakat untuk menikahi esok hari. Tak perlu banyak yang di undang, hanya butuh wali yang akan di serahkan kepada paman Annisa, karena ayah Nisa sudah lama meninggal. Kemudian kedua orang tuaku, dan beberapa family sebagi saksi. Kami berdua juga sepakat mengundang Rani dan Asti sebagai saksi, karena mereka teman dekat Annisa. Untuk urusan catatan sipil, kami tidak memikirkannya dahulu, itu dapat di urus setelah Nisa sembuh dan keluar dari rumah sakit.
***
Akhirnya hari yang kami tunggu pun tiba. Pagi itu suasana begitu syahdu, mentari bersinar begitu menawan dan tidak begitu terik. Di samping tempat tidur Annisa pun telah disiapkan sebuah meja kecil dengan sebuah gelas dan cincin emas diatasnya sebagai mas kawin yang akan ku berikan pada Annisa.
Orang-orang yang kami undang sebagai saksi pun sudah datang. Ibu dan Paman Annisa pun telah menungguku dan kedua orang tuaku di depan puntu kamar. Dengan senyum di wajahku, didampingi ayah dan ibuku akupun masuk ke dalam kamar itu.
Kulihat Nisa duduk diatas tempat tidurnya didampingi Rani dan Asti. Wajahnya begitu bercahaya, dengan gaun abaya berwarna biru muda, serasi dengan jilbab panjangnya, membuatnya terlihat begitu cantik laksana bidadari yang turun syurga. Dan tidak menunggu waktu lama acara akad nikah pun dimulai. Pamannya mulai mengucapkan kalimat untuk menikahkan kami, dan dengan mantap aku pun menjawab.
“Saya terima nikah dan kawinnya Rahmania Annisa Putri binti Achmad Fachrurozi dengan mas kawin sebuah cincin emas seberat 10 gram dan sebuah gelas kaca di bayar tunai..!!!!”.....Saaahh..!!!!
“Barakallahu laka wa baraka 'alaika wa jama'a bainakuma fii khair”
“Barakallahu laka wa baraka 'alaika wa jama'a bainakuma fii khair”
Masih dalam suasana haru, aku pun berdiri untuk menghampiri Annisa di tempat tidurnya, sambil membawa gelas berisi sari kurma, dan cincin emas, yang akan aku pasangkan di jari manisnya. Hampir-hampir aku tak percaya bahwa hari ini, gadis yang selama ini hanya bisa aku sentuh dalam angan, kini aku dapat mengecup keningnya dan memasangkan cincin di jari manisnya, yang menandakan sekarang dia telah menjadi bidadari dalam kehidupanku.
Setelah aku mengecup keningnya aku pun berkata.
“Nisa, sungguh aku mencintaimu karena Allah, aku berjanji akan selalu ada di sisi mu sampai ajal yang memisahkan kita, aku akan terus menjagamu, menemani setiap hari-harimu, dan mengisi hari-hari kita dengan kebahagiaan”
Air mata haru menetes di pipinya, dengan suaranya yang lirih dia pun mengucapkan sesuatu.
“Amiiin mas, semaoga Allah juga mencintaimu, karena kamu telah mencintaiku karena Nya” di pegannya gelas berisi sari kurma itu dan diminumkannya kepadaku.
Tak terasa pagi pun berlalu, Azan Zuhur pun berkumandang, beberpa famili dan teman-teman kami telah pamit untuk pulang, sedang orang tuaku bersama paman dan ibu Annisa menunggu di luar. Tinggal kami berdua di dalam kamar, terasa sangat canggung awalnya saat aku menggenggam tangannya. Tapi perlahan kami mulai terbiasa, kami berdua saling bercanda, meski lama-kelaman ku lihat kondisi Nisa terlihat semakin lemah.
“Sudah dik Nisa, sekarang kamu istirahat, tidur dulu ya sayang” sambil aku turunkan sandaran kasurnya.
“Tapi aku kan belum sholat zuhur mas” kata Nisa lirih “Mas mau kan pimpin sholat zuhur, aku mau mas imamin aku” nadanya begitu manja dan dihiasi senyum manisnya.
“Baiklah sayang, aku ambil air wudhu dulu, kamu tayamum sambil nunggu aku ya”
Setelah aku wudhu dan Nisa selesai Tayamum kami berdua pun melaksanakan sholat zuhur berjamaah. Aku gelar sajadahku di samping tempat tidur Nisa, dan nisa pun mengikuti semua gerakanku dengan isyarat sambil berbaring di atas kasurnya. Setelah selaesai sholat aku pimpin doa dan Nisa mengamini doaku. Kemudian aku pun berdiri menuju tempat tidurnya, dan Nisa pun mencium tanganku.
“Sudah sekarang kamu tidur dulu ya sayang” kataku lembut “Nanti kalau sudah ashar mas bangunin kamu”
Annisa tidak menjawah, hanya mengangguk kecil dan sedikit tersenyum lalu mulai memejamkan matanya. Aku pun meninggalkan tempat tidurnya, menuju sofa yang ada di ujung kamar, mungkin karena aku yang terlalu lelah akhirnya aku pun tertidur di sofa itu.
Sayup sayup terdengar azan ashar berkumandang dari masjid yang ada di dekat rumah sakit, dan aku pun mendadak terbangun. Entah apa yang menuntunku, membuatku melangkah sedikit tergesa menuju tempat tidur nisa untuk segera membangunkannya. Aku pun memegang tangannya sambil memanggil namanya. Tapi tak ada reaksi, aku pun mulai khawatir karena tangannya begitu dingin. Sambil terus memanggil namanya aku raba pergelangan tanganya.
“Tidaaaakkk” aku tidak bisa berasakan denyut nadinya “Nisaaa banguuun Nisaa !!!” sambil terus ku goncang-goncang tubuhnya, teriakkanku yang semakin kencang membuat kedua orang tuaku, ibu dan paman Annisa segera masuk ke dalam kamar.
“Aku tidak bisa merasakan denyut nadi Annisa” Kataku pada mereka dengan mata berkaca-kaca.
Ibu Annisa langsung memeluk tubuh anaknya, dan ayahku berbegas berlari memanggil perawat dan dokter jaga. Barangkali ada tindakan yang masih bisa dilakukan. Aku hanya bisa berdiri mematung memandang ibunya yang terus memeluk tubuh Annisa. Tanganku masih terus menggoyang-goyangkan kakinya berharap dia cuma tertidur.
Hingga akhirnya dokerpun datang, kami semua diminta untuk keluar sebentar. Aku bersikeras untuk ada di dalam, tapi ini prosedur yang harus diikuti. Dengan hati yang kacau, dan perasaan yang sangat tak menentu kami pun menunggu di luar hingga dokter memanggilku dan ibunya untuk masuk ke dalam ruangan. Kulihat Wajah nisa begitu pucat, dan tangannya telah di lingkarkan di atas dadanya
“Maaf, kami sudah berusaha hingga sejauh ini” kata dokter tertahan “Tapi Allah punya kehendak lain, Ibu dan Mas yang sabar, saudari Annisa sudah meninggal”
Seketika itu air mataku menetes, kali ini tidak bisa ku tahan lagi dan mengalir membasahi pipiku, ibunya langsung memeluk tubuh Annisa, aku pun terus memegangi tangan Annisa yang sudah sedingin es.
Inna lillahi wa inna illaihi rojiun
Sesungguhnya semua adalah milik Allah, dan hanya kepada dialah semua akan kembali. Air mataku terus menetes, tapi coba untuk ku tahan karena aku tau tidak baik meratapi orang yang telah meninggal. Aku pun sedikit menguatkan hati untuk menenangkan ibunya. Aku minta ibunya untuk duduk di sofa, sedang aku bersiap untuk mengurus jenazah Nisa.
Ibunya terus menangis dalam pelukan ibuku. Aku sendiri masih duduk sambil menahan air mataku di depan jasad Nisa. Ingin rasanya aku berlari mengejar bayangan Nisa yang menjauh memenuhi panggilanNya. Tangan Nisa yang mulai kaku dan sedingin es tak ku pedulikan, yang ku lihat hanya bayangan wajah Annisa yang seolah tersenyum kepadaku sambil berkata
“Mas Fariz, maafkan aku tak bisa menemanimu lebih lama, kuatkan dirimu, hadapi hidup ini dengan tegar”. Kemudian aku pun memeluk tubuhnya untuk yang perama dan terakhir.
Aku tak pernah menyangka bahwa siang itu, ketulusan Nisa memintaku untuk mengimaminya sholat zuhur ternyata menjadi sholatnya yang terakhir. Siang itu pula menjadi saat pertama dan terakhir kami sholat berjamaah bersama. Dan kini aku berdiri di depan tubuh Nisa yang telah terbungkus kafan, menjadi imam sholat jenazah untuk Annisa, meski sesak dada ini, aku coba untuk tegar dan mengikhlaskan semua yang telah terjadi.
***
Selepas pemakaman ibunya menghampiriku dan memelukku dengan erat. Sambil terus mengatakan terimaksih telah membahgiakan Annisa hingga saat terakhirnya. Aku tak dapat berkata-kata, hanya berusaha untuk menenangkan hati ibunya. Dan ibunya pun menyerahkan sepucuk surat padaku.
“Nak Fariz, Ibu menemukan ini di dalam saku pakaian Annisa” kata ibunya “Di depannya ada tulisan ‘Untuk Mas Fariz, jangan dibaca hingga Allah memanggilku’ mungkin Nisa ingin menyampaikan sesuatu yang belum sempat terucap untukmu”
Perlahan ku buka sepucuk surat dengan amplop berwarna merah jambu itu, dan aku pun mulai membaca isinya. Dan ternyata surat itu di tulis Annisa malam sebelum kami menikah, malam sebelum dia menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Untuk: Mas Fariz tersayang
..terimakasih mas selama ini mas sudah banyak meberikan warna yang dalam kehidupanku.. menemani setiap diskusi-diskusi panjangku.. bercerita tentang filosofi-filosofi kehidupan.. terimakasih juga sudah mau jadi malaikat penghibur di saat-saat terakhirku.. Aku membayangkan saat Mas Fariz mengetahui kondisiku, mas pasti akan kecewa padaku.. makanya aku minta mas untuk meninggalkanku.. tapi ternyata tidak, justru mas datang membawa sebuah gelas penuh kenangan antara kita, berisi cincin dan mengajakku menikah.. itu adalah hal paling manis dalam kehidupanku.. Mas Fariz jangan sedih ya, masih banyak perempuan yang jauh lebih baik dari Nisa.. Mas orang baik, harus punya pendamping yang baik juga.. cincin yang kamu berikan aku kemabalikan padamu, berikan kepada wanita yang pantas menemanimu hingga ujung usiamu nanti.. dan tolong simpan gelas itu ya mas, tapi jika kamu sedih menyimpannya pecahkan saja tidak apa-apa, aku juga tidak mau membebani pikiranmu.. walau dunia kita sudah beda… aku akan tetep ada di hati kamu kan sayang, janji… aku akan selalu disamping kamu… mungkin Nisa memang bukan jodohmu di dunia, tapi Nisa bisa saja jadi jodohmu di surga kelak… Nisa Mohon Maaf andai selama ini aku dan keluarga sudah banyak merepotkanmu..
Yang mencintai ketulusanmu : Annisa
Surat itu benar-benar menguatkan hatiku. Aku tau, aku tak mungkin dapat melupakan Annisa begitu saja, tapi aku harus tetap tegar melangkah, untuk memulai babak baru dalam kehidupanku. Dan akan kusimpan gelas itu sebagai sebuah bagian dari sebuah episode dalam kehidupanku, dan dalam setiap doaku akan selalu ku sebut namanya agar dia mendapatkan tempat yang baik di sisi Nya, dan berharap kami bisa bertemu lagi di jannah Nya..
uuuuh nice story :"
ReplyDeleteini masnya hobi banget bikin cerita dimana si tokoh perempuan lebih dulu berpulang yaa hehe
huhu,,dapetnya ide baru itu..
Deletetapi tunggu next story yaa :))
hmmm hmmmm... meninggal lg T_T
ReplyDeleteceritanya sedih.. kasian fariz.. kemaren jg kayaknya baca cerita kamu, ada yg meninggal jg deh.. haduwh utk urusan beginian emang sedih bgt T_T
next story happy ending deh :))
Deletecari pangsit dulu,eh wangsit maksudnya :))
hiks.. sedih bgttt... Pokoknya klo besok bikin cerita jgn yg sedih lg yak.. bikin aku mewek.. :P hehe *becanda kok. Critanya bagus :)
ReplyDeletetmnku ada yg mengalami kek di crita ini. Pacarny sakit leukimia, dan divonis umurnya tinggal bbrp bln lg. Tp mrka ttp menikah. Dan ajaib, sampai skrg istrinya blm meninggal loh. Bahkan anaknya udah 3. Yah walopun hrs rutin perawatan di rmh sakit, dan ga boleh drop fisiknya. Tp umur itu urusan Allah. Manusia ga bs menentukan. Yg penting ttp berikhtiar.
kok jadi pada sedih sih..
Deletebegitulah rahasia Allah :))
selalu ada hikmah di balik tu semua,,manusia cuma bisa berencana ttep Allah yg menentukan :))
sedih banget ini ceritanya..
ReplyDeletetapi manis karakter-karakternya :)
hadeuhh maaf ya jdi bikin pada sedih yang baca..
Deletelg nunggu inspirasi baru..:))
sedih ih ceritanya :'(
ReplyDeletemaap maap jd pada sedih yaa,,yg selanjutnya gak kok :))
DeleteRani itu rani yang ada di kotak ceritaku ya kak? :D
ReplyDeletemas Fariz kenal sama Rani ternyata.
sabar ya mas Fariz.. :(
eh btw, itu mas kawinnya 10 gram cincin? berat loh pakenya >_<
hahaha...gegara belum pernah merit dan gak mau riset nih,,jd aneh ya mbak..:))
Deletemaksih koreksiannya :))
ceritanya bikin terharu :'(
ReplyDeletesesuatu ini...
makasih mbak,,masih belajar menulis nih :))
Delete