Writen by Rizki Prdana
Hembuasan
angin yang bertiup pelan dari puncak Pangrango, menggoyangkan pucuk-pucuk bunga
eidelweis yang mulai mengering. Mentari pun sudah kembali ke peraduan, dan sang
purnama telah menampakkan diri meski nampak malu-malu di balik awan. Kabut
tipis pun turun perlahan, menyelimuti hutan-hutan di sekitar lembah
Mandalawangi.
Seperti
biasa selepas sholat maghrib di dalam tenda, aku pun keluar menatap jutaan
bintang yang membentang di atas langit malam. Begitu tenang suasana lembah
Mandalawangi malam itu, Cahaya purnama melengkapi suasana syahdu di lembah
Mandalawangi. Hanya ada tiga tenda yang berdiri disana hari itu. Perlahan ku
putar sebuah lagu Cahaya Bulan yang diiringi sebuah puisi dari mendiang Soe Hok
Gie, Sebuah Tanya.
Kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih
Lembah Mandalawangi
Kau dan aku tegak berdiri
Melihat hutan-hutan yang menjadi suram
Meresapi belaian angin yang menjadi dingin
Lembah Mandalawangi
Kau dan aku tegak berdiri
Melihat hutan-hutan yang menjadi suram
Meresapi belaian angin yang menjadi dingin
Hari
ini sudah lebih dari sepuluh kali bait itu ku dengar. Membuatku jauh memandang
kumpulan kabut yang kini pelan-pelan mulai merambat naik. Sebuah bait yang
selalu dapat memutar rangkaian memoriku jauh ke belakang.
Jauh
disana kenangan beberapa tahun yang lalu kembali melintas dalam benakku, saat
aku masih menjadi salah satu anggota Mapala UI. Aku tak pernah bisa lupa saat
pertama kali berjumpa dengan seseorang yang telah memberikan cahaya indah di
dalam hatiku.
Saat
itu senja mulai menjelang di lembah Mandalawangi, aku baru saja selesai
mendirikan tenda, bersama dua sahabatku Fadli dan Rendy. Kami memang sering
menghabiskan waktu week end di Gunung.
Sekedar untuk menepi sesaat dari hingar-bingar kehidupan kota.
Sayup-sayup
dari arah Pangango ku dengar serombongan pendaki turun ke arah Mandalawangi.
Yang menarik perhatianku adalah rombongan ini semuanya adalah perempuan. Lebih dari
20 orang menuruni lereng pangrango menuju lembah mandalawangi. Tak perlu waktu
lama, mereka pun telah melewati tenda kami. Beberapa dari mereka menyapaku yang
kebetulan sedang berdiri di luar tenda.
Kurang
lebih 50 meter dari tendaku berdiri, mereka mulai membongkar barang dan mulai
mendirikan tenda. Beberapa dengan mudah dan cepat telah menyelesaikan tendanya.
Tapi ku lihat ada salah satu kelompok yang nampak kesulitan mendirikan tenda. Aku
pun sedikit berinisiatif, barangkali mereka butuh bantuan.
“Assalamualaikum, maaf barangkali
ada yang bisa aku bantu”, dengan sedikit canggung aku coba menawarkan bantuan kepada
mereka.
“Waalaikum salam, hhmmm..ini mas frame tenda kami sepertinya patah, jadi
tidak bisa digunakan”. Jawab seorang dari mereka dengan ramah.
Aku pun
mencoba melihat kondisinya, dan mencoba sedikit mengatasi masalah mereka, dengan
mengganjal frame yang patah dengan beberapa batang kayu. Dan akhirnya tenda pun
berhasil berdiri, meski tidak sempurna. Dan mereka pun dapat langsung
melanjutkan kegiatannya.
“Terimkasih
banyak ya mas, oia maaf mas ini dari mana?” tanya salah seorang gadis
berkerudung biru.
“Iya,
sama-sama. Nama aku Rizwan, kampung halaman aku sih Solo tapi sekarang sedang
kuliah semester akhir di UI, kalau mbaknya sendiri?”.
“Nama aku Aliya,
kalau yang sedang di dalam tenda itu Safrida, dan yang sedang masak air itu
Mira. Oia maaf mas saya permisi, mau sholat dulu.” diiringi dengan dengan
senyumnya yang manis, gadis itu meninggalkanku yang masih berdiri di dekat
tendanya.
Saat
aku kembali ke tenda, ku lihat Fadli dan Rendy sudah masuk ke dalam kantong
tidurnya masing-masing. Di luar tenda nampak setumpuk nesting yang habis di
pakai memasak mie instan. Rupanya selama aku membantu mendirikan tenda, mereka
berdua sudah makan duluan dan sekarang sudah mulai untuk tidur.
“Dasar
kebiasaan nih kebo, habis makan langsung molor”, batinku dalam hati.
Sekitar
pukul sepuluh malam, mataku mulai tidak bisa di ajak kompromi. Rasa lelah
setelah berjalan seharian membuat rasa kantukku semakin menjadi. Tapi baru saja
aku mau masuk ke dalam tenda, ada seseorang yang meyapaku.
“Asslamulaikum
mas, maaf mengganggu, sudah mau tidur ya”, sapa seorang gadis dengan syal yang
digulungkan di mukanya.
“Waalaikum
salam”, jawabku sambil mengarahkan headlamp-ku
ke arah wajahnya. “oalah, Aliya, ada apa, ada yang perlu di bantu lagi?”
“Enggak
apa-apa mas, Cuma mau ngasih ini” jawab Aliya sambil menyerahkan secangkir
coklat hangat kepadaku “sekedar ucapan terimakasih udah bantuin kita bangun
tenda”
“Wah
kok jadi repot-repot sih, pakai bawain coklat anget segala” Kini aku sudah tidak
canggung lagi.
Semua
memori itu selalu melintas setiap kali aku berdiri di lembah Mandalawangi.
Kenangan manis saat pertama kali bertemu dengan Aliya terus berlanjut pada saat
aku mulai mengenalnya lebih dekat.
Setelah
pertemuan di lembah mandalawangi itu, komunikasi kami terus berlanjut lewat
media sosial di dunia maya. Dari sanalah aku mulai mengenal Aliya lebih dalam. Dia
adalah seorang anggota keputrian di salah satu kampus Islam di Jakarta. Dan kami
pun baru menyadari bahwa kami berasal dari SMA yang sama di Solo, hanya saja saat
aku lulus SMA di baru masuk, sehingga memang kami tidak pernah bertemu
sebelumnya.
Sedang
kecintaannya dengan alam bebas lah yang membuatnya berinisiatif membentuk
kelompok pencinta alam khusus perempuan, di bawah organisasi keputrian bersama
teman-temannya yang lain yang memiliki kesenangan yang sama. Setiap waktu luang
selalu di isi dengan kegiatan Tazabur alam bersama anggota keputrian yang lain.
Dari
kumunikasi-komunikasi itulah aku mulai merasa bahwa takdir telah mempertemukan
aku dengan Aliya. Sesekali kami pernah bertemu dalam acara workshop kepencintaalaman yang diadakan oleh Wanadri, atau
terkadang aku mengahadiri kajian yang sering diadakan di kampus tempat Aliya
kuliah.
Dalam
setiap komunikasi kami, arah pembicaran kami pun sudah semakin dalam. Kami pun
mulai terbuka dengan latar belakang keluarga kami masing-masing. Aku semakin
yakin bahwa memang gadis ini yang sudah ditakdirkan untuk mendampingiku
mengarungi masa depan.
***
Satu
tahun sudah hampir berlalu, persahabatan aku dan Aliya terus terjalin semakin
erat. Aku pun kini sudah menyadang gelar sarjana. Bersama Fadli dan Rendy kami
menjadi owner sebuah usaha kuliner dan toko peralatan outdoor di beberapa daerah di kawasan Jabodetabek.
Hingga pada
satu saat aku, di minta Aliya untuk mendampingi kelompok keputriannya
mengadakan dilkat untuk anggota baru di Gunung Pangrango. Aku diminta untuk
memberikan materi survival dan
beberapa teori dasar Mountaineering.
Aku pun mengajak kedua sahabatku untuk ikut membantu.
Acara diklat malam
berlangsung lancar, perlahan kabut mulai menghilang dan cahaya bulan menerangi
lebah Mandalawangi. Aku pun berdiri di depan tenda sambil mendengarkan puisi Sebuah
Tanya dari MP3 yang ku bawa.
Akhirnya semua akan tiba pada suatu hari yang biasa
Pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui
Apakah kau masih bebicara selembut dahulu
memintaku minum susu dan tidur yang lelap
Sambil membenarkan letak leher kemejaku
Pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui
Apakah kau masih bebicara selembut dahulu
memintaku minum susu dan tidur yang lelap
Sambil membenarkan letak leher kemejaku
Tiba-tiba ku
dengar suara dari sampingku melanjutkan bait dari puisi itu
“Kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih, Lembah mandalawangi” rupanya Aliya yang melanjutkan bait itu. Seperti terbius dengan suasana, akupun ikut melanjutkan.
“Kau dan aku tegak berdiri. Melihat hutan-hutan yang menjadi suram. Meresapi belaian angin yang menjadi dingin”. Dan kami pun saling berpandangan begitu lekat, begitu dalam, sedang lantunan puisi masih terus mengalun dari MP3-ku.
Apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
Ketika ku dekap kau, dekaplah lebih mesra, lebih dekat
Apakah kau masih akan berkata, ku dengar derap jantungmu
Kita begitu berbeda dalam semua
Kecuali dalam cinta
Ketika ku dekap kau, dekaplah lebih mesra, lebih dekat
Apakah kau masih akan berkata, ku dengar derap jantungmu
Kita begitu berbeda dalam semua
Kecuali dalam cinta
Diakahir bait puisi itu aku coba mengungkapkan
perasaanku yang terdalam kepada Aliya.
“Kita begitu berbeda dalam semua
Kecuali dalam cinta, bersediakah Aliya jika aku hendak datang menemui orang
tuamu dan melamarmu untuk menjadi pendampingku?” kata-kata itu terlontar begitu
saja, tetapi sangat tulus keluar dari dari dalam hatiku.
Tak ada
jawaban keluar dari mulut Aliya, hanya sebuah anggukan kecil dan senyum manis
tersungging di wajahnya yang bercahaya di bawah cahaya rembulan. Dan entah bagamana kami pun sepakat untuk
menikah tahun depan setelah Aliya wisuda.
***
Enam bulan kami lewati dengan
lancar, Aliya pun telah menuntaskan sidang Skripsinya dan menunggu waktu
wisuda. Rencananya satu minggu setelah Aliya wisuda kami akan menikah. Tapi dua
bulan sebelum dia wisuda, saat aku sedang sibuk dengan menumpuknya order
peralatan outdoor kabar buruk itu
datang tanpa bisa aku duga.
Aliya terjatuh di lereng Semeru,
nyawanya tidak bisa tertolong dan sekarang evakuasi sedang dilakukan oleh badan
SAR di bantu beberapa relawan. Tanpa pikir panjang, di tengah ketidak
percayaanku aku langsung memesan tiket pesawat ke Malang hari itu juga,
berharap dapat ikut membantu evakuasi.
Dalam pesawat teringat saat
Aliya hendak pamit ke Semeru. Pendakian ini sangat berarti baginya, selain
untuk merayakan ulang tahun ke-3 Perkumpulan Pencinta Alam yang dia rintis, juga
di sempat berkata sebelum berangkat.
“Mas, mungkin nanti setelah aku
menikah aku akan sibuk dengan tugasku sebagai seorang istri dan ibu, nggak mungkin lagi aku naik-naik ke puncak gunung,
jadi untuk terakhir aku naik gunung, aku mau ke puncak tertinggi Jawa sambil
merayakan ulang tahun kelompok pencinta alam ini”. Itulah kata-kata terakhir
yang aku ingat dari Aliya.
Ada
rasa sesal karena aku mengijinkannya, tapi mau bagamana lagi, orang tuanya pun
telah mengijinkannya, dan aku belum menjadi siapa-siapanya. Rasa sesal terus
menyelimutku sepanjang perjalanan ke Malang, tidak menyangka pendakiannya kali
ini benar-benar jadi yang terakhir.
***
Jenazah Aliya datang. Waktu itu hujan
gerimis, bulan bersinar redup dan awan gelap yang sebelumnya menutup Ranu Pani
menghilang. Aku kuatkan hatiku untuk membuka kantong berwarna kuning yang
membungkus jenazah Aliya. Masih berbalut kerudung berwarna biru kesukaannya, Aku
berbisik “Al, Ibu menunggumu di Malang. Sebentar lagi pasti datang membawa
ambulan menjemput kita”.
Tak lama kemudian ambulance pun datang, dan kami berangkat menuju
R.S di Malang. Di Rumah sakit telah menunggu ayah, ibu dan kakak perempuan Aliya,
lalu jenazah Aliya dipeluk erat oleh Ibunya. Tangan kananya yang terbujur di
samping tubuhnya diletakkan Ibu ke dada. Bekas darah masih terlihat di belakang
kepala dan wajah Aliya.
Innalillahi
wa inna illaihi rojiun
Kembali air mataku keluar tanpa
bisa ku bendung. Gadis manis yang aku cintai yang sebentar lagi akan menemaniku
menjalani masa depan, telah pergi mendahuluiku. Dalam pelukan kabut Mahameru
dia menghadap Illahi. Di satu tempat tertinggi, dimana dia selalu ingin
mengagumi keindahan Robb semesta alam dia menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Wajah manisnya kini seputih
salju, luka dalam di bagian otak belakang lah yang mebuatnya tidak bisa
diselamakan. Dalam kebisuan seolah aku dapat melihatnya tersenyum kepadaku,
seolah mengisyaratkan agar aku tetap kuat dan tabah mengahadapi cobaan ini.
Aku terus mengantar kepergian
Aliya hingga peristirahatannya yang terakhir di sebuah pemakaman umum di kota
Solo. Bagai kumpulan kabut yang tertiup angin, hatiku terasa berantakan tanpa
aku bisa membayangkan bagaimana mengumpulakan kembali kepingan-kepingan itu.
Aku pun kembali tersadar saat
Fadli menepuk keras pundakku
“Hei jangan ngelamun malam-malam
ntar kesambet lho.” kata Fadli, sambil menggandeng anak laki-lakinya yang
berusia 5 tahun. “Udah sana makan dulu, tuh ibu-ibu udah bikin menu spesial
malam ini”. Malam ini kami mengadakan reuni keluarga di Lembah Mandalawangi, Fadli
mengajak istri dan anak laki-lakinya, dan Rendy juga mengajak isteri dan anak
perempuannya yang berumur 6 tahun.
Aku hanya tersenyum, sambil
terus memandang setiap sudut lembah Mandalawangi, kabut pun kini telah pergi,
hanya cahaya bulan yang nampak menerangi setiap cerukan dan hutan-hutan di
sekitar lembah. Suasana yang tepat untuk sedikit merenungkan apa yang telah
terjadi.
Disini, di lembah kasih,
sepenggal cerita tentang kisah kasih dalam hidupku terukir. Kisah indah saat
pertama kali ku berjumpa dengannya, tempat dimana aku mengungkapkan rasa cinta,
dan tempat dimana kini aku mengenangnya.
Aliya adalah milikNya, dia hanya
dititipkan di bumi ini, dan kapanpun Allah menghendaki, akan diambil kembali
yang menjadi milikNya. Begitu pula diriku, satu saat nanti pun pasti akan segera
menyusulnya menuju alam barzakh memenuhi panggilan Illahi. Dan bagamanapun aku
bersedih, tak akan mengahdirkan Aliya kembali.
“Mas, masih belum mau makan?” Kata
Dinda, sambil tangan kirinya menggenggam tanganku “ini ada coklat hangat
diminum aja dulu.”
Akupun menatap matanya
dalam-dalam. Dinda, isteriku, wajahnya yang lembut terihat sangat cantik di
bawah sinar rembulan. Dengan jilbab merah muda yang dipakainya membuatnya
semakin anggun. Tanpa terasa sewindu sudah sejak meninggalnya Aliya. Begitulah waktu
berlari begitu cepat.
“Malam ini purnamanya indah
banget ya Mas”, kata Dinda sambil memeluk tubuhku dari belakang “Pasti malam
ini akan sangat dingin ya Mas.”
“Iya Din, suasana seperti ini
memang terasa sangat syahdu, apalagi ditemani dengan seorang yang di cintai,
dingin pun tak akan terasa.” Jawabku sambil ku genggang erat jemarinya. “Masih
butuh tiga tahun lagi untuk bisa membawa si kecil kesini”
“He em” ucap Dinda dengan manja,
“hhmm..lagi ingat kejadian delapan tahun yang lalu ya Mas?” tanyanya
menyelidik.
Dinda adalah kakak perempuan
Aliya, usianya terpaut dua tahun dengan Aliya, dan hanya berbeda satu tahun
denganku. Meski begitu Dinda tetap bukanlah Aliya, dia tetap menjadi dirinya sendiri.
Dan Aliya pun akan tetap punya ruang tersendiri dalam hatiku, yang hanya
menjadi sebuah kenangan masa lalu aku.
Dinda sangat mengerti perasaanku
terhadap adiknya, dan dia juga sadar bahwa kenangan itu akan sulit untuk
dilupakan. Akan tetapi dia tetap gembira, karena Dinda sangat memahami bahwa kenangan
itu tak lebih dari sebuah masa lalu yang tidak perlu terlalu didramatisasi.
Keterbukaan dan saling menerima
kekurangan, hingga memahami masa lalu masing-masing lah yang membuat hubungan
kami berjalan baik hingga 5 tahun ini. Tetapi hal yang paling utama adalah
bahwa hubungan kami tulus untuk mengharapkan keridhoan Allah semata. Tuhan yang
telah mempertemukan kami dengan jalanNya yang tak pernah kami duga.
“Din kamu tau Puisi “Sebuah
Tanya”? sebuah pertanyaan yang sebetulnya aku tau jawabnnya “Aku ingin kamu
bacakan bait terakhir puisi itu untukku”
Sambil mengeratkan pelukkannya
di tubuhku, dan menyandarkan kepalanya di pundakku, Dinda pun mengucapkan bait
terakhir dari puisi itu.
Apakah kau masih
membelaiku semesra dahulu
Ketika ku dekap kau, dekaplah lebih mesra, lebih dekat
Apakah kau masih akan berkata, ku dengar derap jantungmu
“Kita begitu berbeda dalam semua Kecuali dalam cinta”
Ketika ku dekap kau, dekaplah lebih mesra, lebih dekat
Apakah kau masih akan berkata, ku dengar derap jantungmu
“Kita begitu berbeda dalam semua Kecuali dalam cinta”
wow..kisahnya so sweet bgtz rizki..
ReplyDeleteJdi pngen ke mandalawangi jga..smga bsa ksmpaian deh..:D
amiien semoga harapnnya bisa kesampaian :))
Deletebaguuus, romantis banget :)
ReplyDeleteiyaa makasih yaa :))
DeleteCerita Mahameru, perjalanannya, suasananya, juga puisi-puisi yang ditulis Soe Hok Gie memang gak pernah gak bikin iri dan err.. rasanya saya akan tetap berharap untuk bisa mendakinya~
ReplyDeleteSelamat malam :) Kunjungan balik ^^/
insyaAllah jika ada semangat dan kemauan pasti bisa terwujud..
Deletemakasih kunjungannya :))
So sweet banget sob
ReplyDeletemakasih juga sob,,mohon masukkannya :))
Deleteserius lho ini, aku nangis bacanya.
ReplyDeletedulu, ketika SMA.. salah satu impianku adalah muncak bersama suami dan bermalam di lembah 'kasih' mandalawangi bersama suami. aiih.. tertuangkan juga di dalam cerita ini..
Kita begitu berbeda dalam semua Kecuali dalam cinta
keren kak (y)
aku juga pengeen pit,hehe..:D
Deletemaksih yaa komen yaa..
minta kritik2nya tulisan aku ya pit :))
jadi terdiam bacanya.. hmmm hmmm hmmm T_T kenapa Aliya-nya meninggal :((
ReplyDeletesomehow saya jadi berpikir kalau saja cerita seperti ini terjadi pada saya, oh tidak... pasti sedih banget...
tapi, cerita ini so sweet..
Aliya jatuh, trus kepalnya kebentur batu :'(
Deletesemoga yg terjadi pada kita yg baik2 aja ya sist :))
uuuuh ceritanya manis banget :"
ReplyDeletekelak, harus kesampean mendaki bareng suami, hihi
ini fiksi atau sungguhan, mas?
aku juga pengen bisa mendaki bereng istri :))
Deleteini cerita fiksi sist :))
Gak nyangka kalo ditengah-tengah ceritanya nyesek, tapi tetep manis di akhirnya.. Tapi ini fiksi kan yah???
ReplyDeleteLagi seneng bikin yg happy ending :))
Deletemngkin next bikin yg agak sad..
iya ini fiksi kok..:')
huwaaaa.. aku sukaaaaa bgt puisi itu.. kalo ingat bait2nya rasanya hati ini gimanaaaaa gt..
ReplyDeleteeh iya, ada yg aku suka dr tulisan ini: "Keterbukaan dan saling menerima kekurangan, hingga memahami masa lalu masing-masing lah yang membuat hubungan kami berjalan baik hingga 5 tahun ini"
Memang hrsnya setiap pasangan sperti itu. Tp sayangnya tidak smua pasangan bs seperti itu.. #bukancurhat.. hihihi
fiksinya kereeen ^^
waah ada yg curhat colongan nih..:P
Deletetapi memang kunci langgengnya suatu hubungan apalagi rumah tangga adalah perasaan saling mengerti dan keterbukaan :)))