Thursday, 12 September 2013

Lembah Kasih

Writen by Rizki Prdana


Hembuasan angin yang bertiup pelan dari puncak Pangrango, menggoyangkan pucuk-pucuk bunga eidelweis yang mulai mengering. Mentari pun sudah kembali ke peraduan, dan sang purnama telah menampakkan diri meski nampak malu-malu di balik awan. Kabut tipis pun turun perlahan, menyelimuti hutan-hutan di sekitar lembah Mandalawangi.

Seperti biasa selepas sholat maghrib di dalam tenda, aku pun keluar menatap jutaan bintang yang membentang di atas langit malam. Begitu tenang suasana lembah Mandalawangi malam itu, Cahaya purnama melengkapi suasana syahdu di lembah Mandalawangi. Hanya ada tiga tenda yang berdiri disana hari itu. Perlahan ku putar sebuah lagu Cahaya Bulan yang diiringi sebuah puisi dari mendiang Soe Hok Gie, Sebuah Tanya.

Kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih
Lembah Mandalawangi
Kau dan aku tegak berdiri
Melihat hutan-hutan yang menjadi suram
Meresapi belaian angin yang menjadi dingin
           

Hari ini sudah lebih dari sepuluh kali bait itu ku dengar. Membuatku jauh memandang kumpulan kabut yang kini pelan-pelan mulai merambat naik. Sebuah bait yang selalu dapat memutar rangkaian memoriku jauh ke belakang.
       
Jauh disana kenangan beberapa tahun yang lalu kembali melintas dalam benakku, saat aku masih menjadi salah satu anggota Mapala UI. Aku tak pernah bisa lupa saat pertama kali berjumpa dengan seseorang yang telah memberikan cahaya indah di dalam hatiku.

Saat itu senja mulai menjelang di lembah Mandalawangi, aku baru saja selesai mendirikan tenda, bersama dua sahabatku Fadli dan Rendy. Kami memang sering menghabiskan waktu week end di Gunung. Sekedar untuk menepi sesaat dari hingar-bingar kehidupan kota.

Sayup-sayup dari arah Pangango ku dengar serombongan pendaki turun ke arah Mandalawangi. Yang menarik perhatianku adalah rombongan ini semuanya adalah perempuan. Lebih dari 20 orang menuruni lereng pangrango menuju lembah mandalawangi. Tak perlu waktu lama, mereka pun telah melewati tenda kami. Beberapa dari mereka menyapaku yang kebetulan sedang berdiri di luar tenda.
    
Kurang lebih 50 meter dari tendaku berdiri, mereka mulai membongkar barang dan mulai mendirikan tenda. Beberapa dengan mudah dan cepat telah menyelesaikan tendanya. Tapi ku lihat ada salah satu kelompok yang nampak kesulitan mendirikan tenda. Aku pun sedikit berinisiatif, barangkali mereka butuh bantuan.

“Assalamualaikum, maaf barangkali ada yang bisa aku bantu”, dengan sedikit canggung aku coba menawarkan bantuan kepada mereka.

“Waalaikum salam, hhmmm..ini mas frame tenda kami sepertinya patah, jadi tidak bisa digunakan”. Jawab seorang dari mereka dengan ramah.

Aku pun mencoba melihat kondisinya, dan mencoba sedikit mengatasi masalah mereka, dengan mengganjal frame yang patah dengan beberapa batang kayu. Dan akhirnya tenda pun berhasil berdiri, meski tidak sempurna. Dan mereka pun dapat langsung melanjutkan kegiatannya.

“Terimkasih banyak ya mas, oia maaf mas ini dari mana?” tanya salah seorang gadis berkerudung biru.

“Iya, sama-sama. Nama aku Rizwan, kampung halaman aku sih Solo tapi sekarang sedang kuliah semester akhir di UI, kalau mbaknya sendiri?”.

“Nama aku Aliya, kalau yang sedang di dalam tenda itu Safrida, dan yang sedang masak air itu Mira. Oia maaf mas saya permisi, mau sholat dulu.” diiringi dengan dengan senyumnya yang manis, gadis itu meninggalkanku yang masih berdiri di dekat tendanya.

Saat aku kembali ke tenda, ku lihat Fadli dan Rendy sudah masuk ke dalam kantong tidurnya masing-masing. Di luar tenda nampak setumpuk nesting yang habis di pakai memasak mie instan. Rupanya selama aku membantu mendirikan tenda, mereka berdua sudah makan duluan dan sekarang sudah mulai untuk tidur.

“Dasar kebiasaan nih kebo, habis makan langsung molor”, batinku dalam hati.

Sekitar pukul sepuluh malam, mataku mulai tidak bisa di ajak kompromi. Rasa lelah setelah berjalan seharian membuat rasa kantukku semakin menjadi. Tapi baru saja aku mau masuk ke dalam tenda, ada seseorang yang meyapaku.

“Asslamulaikum mas, maaf mengganggu, sudah mau tidur ya”, sapa seorang gadis dengan syal yang digulungkan di mukanya.

“Waalaikum salam”, jawabku sambil mengarahkan headlamp-ku ke arah wajahnya. “oalah, Aliya, ada apa, ada yang perlu di bantu lagi?”

“Enggak apa-apa mas, Cuma mau ngasih ini” jawab Aliya sambil menyerahkan secangkir coklat hangat kepadaku “sekedar ucapan terimakasih udah bantuin kita bangun tenda”

“Wah kok jadi repot-repot sih, pakai bawain coklat anget segala” Kini aku sudah tidak canggung lagi.

Semua memori itu selalu melintas setiap kali aku berdiri di lembah Mandalawangi. Kenangan manis saat pertama kali bertemu dengan Aliya terus berlanjut pada saat aku mulai mengenalnya lebih dekat.

Setelah pertemuan di lembah mandalawangi itu, komunikasi kami terus berlanjut lewat media sosial di dunia maya. Dari sanalah aku mulai mengenal Aliya lebih dalam. Dia adalah seorang anggota keputrian di salah satu kampus Islam di Jakarta. Dan kami pun baru menyadari bahwa kami berasal dari SMA yang sama di Solo, hanya saja saat aku lulus SMA di baru masuk, sehingga memang kami tidak pernah bertemu sebelumnya.

Sedang kecintaannya dengan alam bebas lah yang membuatnya berinisiatif membentuk kelompok pencinta alam khusus perempuan, di bawah organisasi keputrian bersama teman-temannya yang lain yang memiliki kesenangan yang sama. Setiap waktu luang selalu di isi dengan kegiatan Tazabur alam bersama anggota keputrian yang lain.

Dari kumunikasi-komunikasi itulah aku mulai merasa bahwa takdir telah mempertemukan aku dengan Aliya. Sesekali kami pernah bertemu dalam acara workshop kepencintaalaman yang diadakan oleh Wanadri, atau terkadang aku mengahadiri kajian yang sering diadakan di kampus tempat Aliya kuliah.

Dalam setiap komunikasi kami, arah pembicaran kami pun sudah semakin dalam. Kami pun mulai terbuka dengan latar belakang keluarga kami masing-masing. Aku semakin yakin bahwa memang gadis ini yang sudah ditakdirkan untuk mendampingiku mengarungi masa depan.

***

Satu tahun sudah hampir berlalu, persahabatan aku dan Aliya terus terjalin semakin erat. Aku pun kini sudah menyadang gelar sarjana. Bersama Fadli dan Rendy kami menjadi owner sebuah usaha kuliner dan toko peralatan outdoor di beberapa daerah di kawasan Jabodetabek.

Hingga pada satu saat aku, di minta Aliya untuk mendampingi kelompok keputriannya mengadakan dilkat untuk anggota baru di Gunung Pangrango. Aku diminta untuk memberikan materi survival dan beberapa teori dasar Mountaineering. Aku pun mengajak kedua sahabatku untuk ikut membantu.

Acara diklat malam berlangsung lancar, perlahan kabut mulai menghilang dan cahaya bulan menerangi lebah Mandalawangi. Aku pun berdiri di depan tenda sambil mendengarkan puisi Sebuah Tanya dari MP3 yang ku bawa.

Akhirnya semua akan tiba pada suatu hari yang biasa
            Pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui
           Apakah kau masih bebicara selembut dahulu
           memintaku minum susu dan tidur yang lelap
           Sambil membenarkan letak leher kemejaku

Tiba-tiba ku dengar suara dari sampingku melanjutkan bait dari puisi itu

“Kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih, Lembah mandalawangi” rupanya Aliya yang melanjutkan bait itu. Seperti terbius dengan suasana, akupun ikut melanjutkan.

“Kau dan aku tegak berdiri. Melihat hutan-hutan yang menjadi suram. Meresapi belaian angin yang menjadi dingin”. Dan kami pun saling berpandangan begitu lekat, begitu dalam, sedang lantunan puisi masih terus mengalun dari MP3-ku.

Apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
            Ketika ku dekap kau, dekaplah lebih mesra, lebih dekat
            Apakah kau masih akan berkata, ku dengar derap jantungmu
            Kita begitu berbeda dalam semua
            Kecuali dalam cinta

Diakahir bait puisi itu aku coba mengungkapkan perasaanku yang terdalam kepada Aliya.

“Kita begitu berbeda dalam semua Kecuali dalam cinta, bersediakah Aliya jika aku hendak datang menemui orang tuamu dan melamarmu untuk menjadi pendampingku?” kata-kata itu terlontar begitu saja, tetapi sangat tulus keluar dari dari dalam hatiku.

Tak ada jawaban keluar dari mulut Aliya, hanya sebuah anggukan kecil dan senyum manis tersungging di wajahnya yang bercahaya di bawah cahaya rembulan. Dan entah bagamana kami pun sepakat untuk menikah tahun depan setelah Aliya wisuda.

***

Enam bulan kami lewati dengan lancar, Aliya pun telah menuntaskan sidang Skripsinya dan menunggu waktu wisuda. Rencananya satu minggu setelah Aliya wisuda kami akan menikah. Tapi dua bulan sebelum dia wisuda, saat aku sedang sibuk dengan menumpuknya order peralatan outdoor kabar buruk itu datang tanpa bisa aku duga.

Aliya terjatuh di lereng Semeru, nyawanya tidak bisa tertolong dan sekarang evakuasi sedang dilakukan oleh badan SAR di bantu beberapa relawan. Tanpa pikir panjang, di tengah ketidak percayaanku aku langsung memesan tiket pesawat ke Malang hari itu juga, berharap dapat ikut membantu evakuasi.

Dalam pesawat teringat saat Aliya hendak pamit ke Semeru. Pendakian ini sangat berarti baginya, selain untuk merayakan ulang tahun ke-3 Perkumpulan Pencinta Alam yang dia rintis, juga di sempat berkata sebelum berangkat.

“Mas, mungkin nanti setelah aku menikah aku akan sibuk dengan tugasku sebagai seorang istri dan ibu, nggak  mungkin lagi aku naik-naik ke puncak gunung, jadi untuk terakhir aku naik gunung, aku mau ke puncak tertinggi Jawa sambil merayakan ulang tahun kelompok pencinta alam ini”. Itulah kata-kata terakhir yang aku ingat dari Aliya.

Ada rasa sesal karena aku mengijinkannya, tapi mau bagamana lagi, orang tuanya pun telah mengijinkannya, dan aku belum menjadi siapa-siapanya. Rasa sesal terus menyelimutku sepanjang perjalanan ke Malang, tidak menyangka pendakiannya kali ini benar-benar jadi yang terakhir.

***

Jenazah Aliya datang. Waktu itu hujan gerimis, bulan bersinar redup dan awan gelap yang sebelumnya menutup Ranu Pani menghilang. Aku kuatkan hatiku untuk membuka kantong berwarna kuning yang membungkus jenazah Aliya. Masih berbalut kerudung berwarna biru kesukaannya, Aku berbisik “Al, Ibu menunggumu di Malang. Sebentar lagi pasti datang membawa ambulan menjemput kita”.

Tak lama kemudian ambulance pun datang, dan kami berangkat menuju R.S di Malang. Di Rumah sakit telah menunggu ayah, ibu dan kakak perempuan Aliya, lalu jenazah Aliya dipeluk erat oleh Ibunya. Tangan kananya yang terbujur di samping tubuhnya diletakkan Ibu ke dada. Bekas darah masih terlihat di belakang kepala dan wajah Aliya.

Innalillahi wa inna illaihi rojiun

Kembali air mataku keluar tanpa bisa ku bendung. Gadis manis yang aku cintai yang sebentar lagi akan menemaniku menjalani masa depan, telah pergi mendahuluiku. Dalam pelukan kabut Mahameru dia menghadap Illahi. Di satu tempat tertinggi, dimana dia selalu ingin mengagumi keindahan Robb semesta alam dia menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Wajah manisnya kini seputih salju, luka dalam di bagian otak belakang lah yang mebuatnya tidak bisa diselamakan. Dalam kebisuan seolah aku dapat melihatnya tersenyum kepadaku, seolah mengisyaratkan agar aku tetap kuat dan tabah mengahadapi cobaan ini.

Aku terus mengantar kepergian Aliya hingga peristirahatannya yang terakhir di sebuah pemakaman umum di kota Solo. Bagai kumpulan kabut yang tertiup angin, hatiku terasa berantakan tanpa aku bisa membayangkan bagaimana mengumpulakan kembali kepingan-kepingan itu.

Aku pun kembali tersadar saat Fadli menepuk keras pundakku

“Hei jangan ngelamun malam-malam ntar kesambet lho.” kata Fadli, sambil menggandeng anak laki-lakinya yang berusia 5 tahun. “Udah sana makan dulu, tuh ibu-ibu udah bikin menu spesial malam ini”. Malam ini kami mengadakan reuni keluarga di Lembah Mandalawangi, Fadli mengajak istri dan anak laki-lakinya, dan Rendy juga mengajak isteri dan anak perempuannya yang berumur 6 tahun.

Aku hanya tersenyum, sambil terus memandang setiap sudut lembah Mandalawangi, kabut pun kini telah pergi, hanya cahaya bulan yang nampak menerangi setiap cerukan dan hutan-hutan di sekitar lembah. Suasana yang tepat untuk sedikit merenungkan apa yang telah terjadi.

Disini, di lembah kasih, sepenggal cerita tentang kisah kasih dalam hidupku terukir. Kisah indah saat pertama kali ku berjumpa dengannya, tempat dimana aku mengungkapkan rasa cinta, dan tempat dimana kini aku mengenangnya.

Aliya adalah milikNya, dia hanya dititipkan di bumi ini, dan kapanpun Allah menghendaki, akan diambil kembali yang menjadi milikNya. Begitu pula diriku, satu saat nanti pun pasti akan segera menyusulnya menuju alam barzakh memenuhi panggilan Illahi. Dan bagamanapun aku bersedih, tak akan mengahdirkan Aliya kembali.

“Mas, masih belum mau makan?” Kata Dinda, sambil tangan kirinya menggenggam tanganku “ini ada coklat hangat diminum aja dulu.”

Akupun menatap matanya dalam-dalam. Dinda, isteriku, wajahnya yang lembut terihat sangat cantik di bawah sinar rembulan. Dengan jilbab merah muda yang dipakainya membuatnya semakin anggun. Tanpa terasa sewindu sudah sejak meninggalnya Aliya. Begitulah waktu berlari begitu cepat.

“Malam ini purnamanya indah banget ya Mas”, kata Dinda sambil memeluk tubuhku dari belakang “Pasti malam ini akan sangat dingin ya Mas.”

“Iya Din, suasana seperti ini memang terasa sangat syahdu, apalagi ditemani dengan seorang yang di cintai, dingin pun tak akan terasa.” Jawabku sambil ku genggang erat jemarinya. “Masih butuh tiga tahun lagi untuk bisa membawa si kecil kesini”

“He em” ucap Dinda dengan manja, “hhmm..lagi ingat kejadian delapan tahun yang lalu ya Mas?” tanyanya menyelidik.

Dinda adalah kakak perempuan Aliya, usianya terpaut dua tahun dengan Aliya, dan hanya berbeda satu tahun denganku. Meski begitu Dinda tetap bukanlah Aliya, dia tetap menjadi dirinya sendiri. Dan Aliya pun akan tetap punya ruang tersendiri dalam hatiku, yang hanya menjadi sebuah kenangan masa lalu aku.

Dinda sangat mengerti perasaanku terhadap adiknya, dan dia juga sadar bahwa kenangan itu akan sulit untuk dilupakan. Akan tetapi dia tetap gembira, karena Dinda sangat memahami bahwa kenangan itu tak lebih dari sebuah masa lalu yang tidak perlu terlalu didramatisasi.

Keterbukaan dan saling menerima kekurangan, hingga memahami masa lalu masing-masing lah yang membuat hubungan kami berjalan baik hingga 5 tahun ini. Tetapi hal yang paling utama adalah bahwa hubungan kami tulus untuk mengharapkan keridhoan Allah semata. Tuhan yang telah mempertemukan kami dengan jalanNya yang tak pernah kami duga.

“Din kamu tau Puisi “Sebuah Tanya”? sebuah pertanyaan yang sebetulnya aku tau jawabnnya “Aku ingin kamu bacakan bait terakhir puisi itu untukku”

Sambil mengeratkan pelukkannya di tubuhku, dan menyandarkan kepalanya di pundakku, Dinda pun mengucapkan bait terakhir dari puisi itu.

Apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
            Ketika ku dekap kau, dekaplah lebih mesra, lebih dekat
            Apakah kau masih akan berkata, ku dengar derap jantungmu
               “Kita begitu berbeda dalam semua Kecuali dalam cinta”

18 comments:

  1. wow..kisahnya so sweet bgtz rizki..

    Jdi pngen ke mandalawangi jga..smga bsa ksmpaian deh..:D

    ReplyDelete
  2. Cerita Mahameru, perjalanannya, suasananya, juga puisi-puisi yang ditulis Soe Hok Gie memang gak pernah gak bikin iri dan err.. rasanya saya akan tetap berharap untuk bisa mendakinya~

    Selamat malam :) Kunjungan balik ^^/

    ReplyDelete
    Replies
    1. insyaAllah jika ada semangat dan kemauan pasti bisa terwujud..
      makasih kunjungannya :))

      Delete
  3. serius lho ini, aku nangis bacanya.
    dulu, ketika SMA.. salah satu impianku adalah muncak bersama suami dan bermalam di lembah 'kasih' mandalawangi bersama suami. aiih.. tertuangkan juga di dalam cerita ini..

    Kita begitu berbeda dalam semua Kecuali dalam cinta

    keren kak (y)

    ReplyDelete
    Replies
    1. aku juga pengeen pit,hehe..:D
      maksih yaa komen yaa..
      minta kritik2nya tulisan aku ya pit :))

      Delete
  4. jadi terdiam bacanya.. hmmm hmmm hmmm T_T kenapa Aliya-nya meninggal :((

    somehow saya jadi berpikir kalau saja cerita seperti ini terjadi pada saya, oh tidak... pasti sedih banget...

    tapi, cerita ini so sweet..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aliya jatuh, trus kepalnya kebentur batu :'(
      semoga yg terjadi pada kita yg baik2 aja ya sist :))

      Delete
  5. uuuuh ceritanya manis banget :"
    kelak, harus kesampean mendaki bareng suami, hihi
    ini fiksi atau sungguhan, mas?

    ReplyDelete
    Replies
    1. aku juga pengen bisa mendaki bereng istri :))

      ini cerita fiksi sist :))

      Delete
  6. Gak nyangka kalo ditengah-tengah ceritanya nyesek, tapi tetep manis di akhirnya.. Tapi ini fiksi kan yah???

    ReplyDelete
    Replies
    1. Lagi seneng bikin yg happy ending :))
      mngkin next bikin yg agak sad..

      iya ini fiksi kok..:')

      Delete
  7. huwaaaa.. aku sukaaaaa bgt puisi itu.. kalo ingat bait2nya rasanya hati ini gimanaaaaa gt..

    eh iya, ada yg aku suka dr tulisan ini: "Keterbukaan dan saling menerima kekurangan, hingga memahami masa lalu masing-masing lah yang membuat hubungan kami berjalan baik hingga 5 tahun ini"
    Memang hrsnya setiap pasangan sperti itu. Tp sayangnya tidak smua pasangan bs seperti itu.. #bukancurhat.. hihihi

    fiksinya kereeen ^^


    ReplyDelete
    Replies
    1. waah ada yg curhat colongan nih..:P
      tapi memang kunci langgengnya suatu hubungan apalagi rumah tangga adalah perasaan saling mengerti dan keterbukaan :)))

      Delete

Alangkah lebih bijaksana untuk menyambung silaturahim dipersilahkan meninggalkan jejak berupa komentar,,,terimakasih..^_^