Solo
alias
Surakarta
Hadininngrat..
Siapa
yang tak kenal dengan kota ini..
Kota
yang sangat terkenal dengan budayanya, kota yang begitu eksotis dengan
keramah-tamahan penduduknya, dan kota yang sangat epik dengan sejarahnya..
dan
disini lah tempat dimana aku dibesarkan..
Setelah
sekian lama nggak pulang ke kota Solo, tiba-tiba aku terbersit keinginan untuk
keliling kota Solo dengan sepeda. Sebenernya cita-citaku keliling Solo dengan
sepeda sudah lama direncanakkan hanya saja baru terlakasana saat ini.
Dan
destinasiku kali ini adalah
Kampoeng Batik Laweyan..
Selamat datang di Laweyan - photo by Rizki Pradana |
Kenapa
tempat ini aku pilih sebagai pemberhentian pertama, karena daerah inilah yang
paling dekat dengan rumah, serta jika berwisata disebuah kampung yang begitu
epik, pastilah akan menjadi sebuah perjalanan yang anti mainstream.
Pukul
06.30 mulai kukayuh sepedaku, dari daerah kartasura kearah selatan kemudian
berbelok ke arah timur menuju kampung batik laweyan..
Kurang
lebih 20-30 menit nge-gowes sepeda, sambil membawa kamera di pundak. Aku pun siap
untuk hunting view dan wisata blusukkan di kampung batik Laweyan..
Aktivitas di pagi hari - photo by Rizki Pradana |
Begitu tiba di kampung batik ini, suasana damai dan
asri nampak langsung menyambutku. berteman udara sejuk di pagi hari, terlihat
disana-sini warga yang memulai aktifitasnya untuk mencari rejeki. Mulai dari
ibu-ibu yang bersiap ke pasar, seorang ibu yang mengantar anaknya sekolah,
hingga para penjual batik yang mulai membuka tokonya.
Aku
pun mulai menyusuri jalan-jalan kampung yang eksotis ini, dari sisi barat kemudian
ke selatan, ke utara, ke timur, balik lagi ke selatan, pokoknya muter-muter
cari spot dan momen yang bagus.
Menanti Penumpang - photo by Rizki Pradana |
Menelusuri kembali lorong-lorong dan gang sempit di
antara tembok-tembok besar di Laweyan membuat aku seakan terlempar ke masa
lalu. Tembok-tembok tua dengan warna yang memudar itu konon menjadi saksi atas
masa kejayaan batik Laweyan di masa lampau. Bangunan-bangunan kuno, rumah-rumah
tua pengusaha batik pun masih dipertahankan keaslian bentuknya, meski sentuhan
modernisasi sedikit banyak menggeser kesan etniknya.
Lorong tua - photo by Rizki Pradana |
Disamping Laweyan terkenal akan industri batiknya,
mulai dari batik tulis hingga batik cap, kampung ini juga terkenal akan tokoh
pergerakan nasional yang ikut berjuang dalam melawan para kompeni-kompeni
belanda.
Siapa
lagi kalau bukan K.H. Samanhudi
melalui perkumpulan Serikat Dagang Islam-nya yang kemudan berubah menjadi
Serikat Islam. Di tempat inilah pergerakan beliau memperjuangkan nasionalsime dimulai.
Di sudut Museum Samanhoedi - photo by Rizki Pradana |
Perjalananku
pun terus berlanjut, nyaris setiap sudut kampung batik Lawayan tak luput dari
bidikan kameraku.
Namun
tiba-tiba ada sebuah bangunan yang menarik perhatianku, tersebutlah sebuah
langgar (mushola) yang dulunya bernama Langgar Merdeka (sekarang berubah
menjadi Langgar Ichlas) yang berada di sudut gang masuk ke kampung batik
laweyan..
Langgar
“Merdeka” merupakan salah satu tempat ibadah umat Islam di Kampoeng Batik
Laweyan yang sangat bersejarah dan masih difungsikan hingga kini. Bangunan ini sekaligus
merupakan icon Kampoeng Batik
Laweyan, serta sebagai penunjuk arah bagi semua orang yang akan menuju ke
Kampoeng Batik Laweyan.
Langgar Ichlas - photo by Rizki Pradana |
Sedikit
belajar sejarah lagi yaaa...
Jika
menilik kembali awal mulanya, bangunan Langgar ini merupakan wakaf dari
Almarhum Bapak H. Imam Mashadi dan Almarhumah Ibu Hj. Aminah Imam Mashadi.
Bangunan asli langgar ini sudah ada sejak 1877, tapi perombakkan bangunan
Langgar “Merdeka” ini dimulai tahun 1942 dan selesai pada tahun 1946 yang
kemudian diresmikan oleh Mentri Sosial pertama yaitu Almarhum Bapak Mulyadi
Joyo Martono.
Siapa
yang mengira jika bangunan Langgar ini sebelumnya adalah bangunan rumah milik
orang Cina yang dipakai untuk berjualan Candu (Ganja). Tapi oleh Almarhun Bapak
H. Imam Mashadi kemudian dibeli dan diwakafkan untuk dijadikan sebuah tempat
ibadah di Kampung Batik Laweyan ini.
Menara - photo by Rizki Pradana |
Nama
Langgar “Merdeka” sendiri diambil dalam rangka memperingati kemerdekaan RI,
namun pada saat Agresi Militer Belanda ke II tahun 1949 diganti namanya dengan
Langgar “Al Ikhlas” karena katanya pada saat itu penggunaan kata “Merdeka”
dilarang oleh pemerintah Belanda yang menduduki Surakarta.
Oke
perjalanan dilanjutkan lagi menyususri jalan dan gang-gang sempit kampung batik
ini..
Hampir di setiap sudut hampir kampung ini ditemui
rumah produksi batik, mulai dari rumah sederhana hingga showroom-showroom besar
yang menjual batik khas Solo.
Showroom di Laweyan - photo by Rizki Pradana
Sebenarnya
kawasan sentra industri batik ini sudah ada sejak zaman kerajaan Pajang tahun
1546. Seni batik tradisional yang dulu lebih
banyak didominasi oleh para juragan batik sebagai pemilik usaha batik, kini
terus dilestarikan oleh masyarakat di kampung Laweyan ini sebagai sebuah
warisan budaya yang sangat berharga.
Akhirnya
sebagai langkah strategis untuk melestarikan seni batik ini, Kampung Laweyan
pun didesain sebagai kampung batik terpadu, memanfaatkan lahan seluas kurang
lebih 24 ha yang terdiri dari 3 blok.
Slogan yang unik - photo by Rizki Pradana |
Setelah
lelah berjalan, aku pun memutuskan untuk beristirahat disebuah pos kampling (shelter)
yang cukup unik di persimpangan Kampung Batik ini. Desain pos kamling dan
ornamen lampunya pun di buat begitu etnik dan eksotis, dipadu dengan sentuhan
modern, semakin menunjukkan betapa eksotisnya kampung ini.
Selain dari keindahan batik yang dihasilkannya,
serta keramah-tamahan penduduknya, ternyata Kampung Batik Laweyan pun menyimpan
segudang sejarah yang sangat menarik untuk digali. Maka benar jika kita
berwisata di suatu tempat yang memiliki nilai sejarah, akan lebih terasa jika
kita mengetahui sejarahnya
thats so exotic - photo by Rizki Pradana |
Suasana
pagi yang syahdu pun masih terasa, segala aktifitas masyarakat masih menggeliat
di tengah damainya kampung batik Laweyan..
this is the best moment "seorang ibu yang hendak pergi ke pasar dan meminta untuk diantar oleh seorang tukang becak di salah satu persimpangan Kampung bati Laweyan photo by Rizki Pradana |
Dan
setelah aku rasa cukup untuk beristirahat,dan tenaga sudah mulai terisi lagi, aku
pun segera mengemas kameraku dan bersiap untuk kembali pulang karena matahari pun
sudah mulai meninggi dan aku katakan wisata blusukkan
kali ini begitu “Sempurna”.
ooh..begitu ya sejarahnya.jadi inget pelajaran syarikat dagang islam waktu SD..hehehe
ReplyDeleteinsyaAlloh nanti mampir ah ke sini,,belum pernah ke solo soalnya ^^
enak juga, ya, punya waktu agak lama di Solo. Trus menyusuri kota solo seharian :)
ReplyDeletesegala aktifitas masyarakat masih menggeliat di tengah damainya kampung batik Laweyan..... :)
ReplyDeletenuansa budaya yang masih kental dan sarat makna, terimakasih telah berbagi..
ReplyDeletetok tok tok... yang punya rumah ada?
ReplyDeleteLama nggak maen kemari, ternyata udah lama nggak dijamah juga ya ki :p
Semoga suatu hari bisa mampir ke sana (J >o<)J
betul kalau disana suka main becak-becakan terus tuh
ReplyDeletesangat bagus sekali yaa itu bangunan nya membuat bernostalgia karna masih alami..
ReplyDelete