"Sebuah Tanya" |
Akhirnya semua akan tiba
Pada suatu hari yang biasa
Pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui
Pada suatu hari yang biasa
Pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui
Apakah kau masih berbicara selembut dahulu
Memintaku minum susu dan tidur yang lelap
Sambil membenarkan letak leher kemejaku
Memintaku minum susu dan tidur yang lelap
Sambil membenarkan letak leher kemejaku
Kabut tipis pun turun pelan-pelan
Di lembah kasih, lembah Mandalawangi
Kau dan aku tegak berdiri
Melihat hutan-hutan yang menjadi suram
Meresapi belaian angin yang menjadi dingin
Melihat hutan-hutan yang menjadi suram
Meresapi belaian angin yang menjadi dingin
Apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
Ketika kudekap kau
Dekaplah lebih mesra, lebih dekat
Ketika kudekap kau
Dekaplah lebih mesra, lebih dekat
Lampu-lampu berkelipan di Jakarta yang sepi
Kota kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinya
Kota kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinya
Kau dan aku berbicara
Tanpa kata, tanpa suara
Ketika malam yang basah menyelimuti Jakarta kita
Apakah kau masih akan berkata
Kudengar derap jantungmu
Tanpa kata, tanpa suara
Ketika malam yang basah menyelimuti Jakarta kita
Apakah kau masih akan berkata
Kudengar derap jantungmu
Kita begitu berbeda dalam semua
Kecuali dalam cinta
Kecuali dalam cinta
Hari pun menjadi malam
Kulihat semuanya menjadi suram
Wajah-wajah yang tidak kita kenal berbicara
Dalam bahasa yang kita tidak mengerti
Kulihat semuanya menjadi suram
Wajah-wajah yang tidak kita kenal berbicara
Dalam bahasa yang kita tidak mengerti
Seperti kabut pagi itu
Manisku, aku akan jalan terus
Membawa kenang-kenangan dan harapan-harapan
Bersama hidup yang begitu biru
Manisku, aku akan jalan terus
Membawa kenang-kenangan dan harapan-harapan
Bersama hidup yang begitu biru
Siapa ya tak tau puisi di atas..?
Ya,,tepat sekali puisi diatas berjudul "Sebuah Tanya" yang ditulis oleh seorang mahasiswa sastra Universitas Indonesia, yang juga seorang aktivis luar biasa pada masanya, sekaligus pula seorang pendiri dari Mapala UI.
Siapa lagi orangnya kalau bukan SOE HOK GIE..
Soe (begitu ia selalu ingin dipanggil) adalah sosok
idealis yang lahir pada 17 Desember 1942. Ayahnya Soe Lie Piet juga seorang
penulis, baik karangan fiksi maupun non-fiksi. Sejak masih sekolah, Soe Hok Gie
sering berkunjung ke perpustakaan umum dan beberapa taman bacaan di Jakarta. ketika
masih Sekolah Dasar, Soe Hok Gie bahkan sudah membaca karya-karya sastra yang
berbobot, seperti karya Pramoedya Ananta Toer. Ttak heran jika akhirnya ia memilih Fakultas sastra UI sebagai tempatnya menuntut ilmu.
Selain kecintaannya pada sastra Soe juga sangat menyukai kegiatan alam bebas dan naik gunung. karena itu pula lah Soe juga ikut mendirikan perkumpulan Mahasiswa Pecinta Alam UI (Mapala UI) bersama sahabatnya Herman O. Lantang.Melalui sarana inilah Soe dapat mengekspresikan kecintaannya pada alam.
Lembah
Mandalawangi di gunung Pangrango merupakan tempat favorit baginya untuk melepas
segala penat yang dirasakan. Ikatan yang kuat antara Soe Hok Gie dengan alam pula yang
menghantarnya pada keabadian ketika pada tahun 1969 tepat sehari sebelum ulang
tahunnya yang ke-27, Gie meninggal akibat menghirup asap beracun di gunung Semeru,
tanah tertinggi di pulau Jawa.
Soe Hok Gie sangat senang menulis, baik
itu tulisan tajam dalam mengkritik pemerintah maupun karya sastra seperti
puisi. Puisi-puisinya sangat menggambarkan realitas zaman itu yang penuh dengan
permainan politik. Soe merefleksikan segala bentuk dinamika kehidupan dalam
puisinya. Terdapat sisi refleksi dalam puisi-puisi Soe yang dapat menggugah
hati setiap pembacanya.
Dalam puisi
“Sebuah Tanya” ia menggambarkan jalan percintaanya dengan perempuan dapat
disandingkan dengan kecintaannya pada alam, khususnya pada lembah Mandalawangi
yang nantinya akan menjadi tempat bagi peristirahatan Soe yang terakhir di mana
abu kremasinya ditaburkan di tempat itu.
Soe Hok Gie menganalogikan kisahnya
dengan nasib para prajurit. Mereka dipuja-puja, dianggap sebagai pahlawan
sebagai tentara pembebas. Namun, jika ada anak perempuan ingin dinikahi,
semuanya akan berkata, “nanti dulu”.
Sekali waktu Soe Gie pernah berkata, “Saya
juga mulai menyadari reaksi ibu (dari) Maria. Orang-orang Tionghoa ini senang
pada saya karena saya berani, jujur, dan berkepribadian. But no more than that. Pada saat mereka sadar bahwa saya ingin
menjadi in-group mereka, mereka
menolak; Soe baik tetapi tidak untuk keluarga kita.”
Ada yang menarik dari bagian puisi :
“Manisku, aku akan jalan terus. Membawa kenang-kenangan dan harapan-harapan,
bersama hidup yang begitu biru.”. Dalam bagian ini kita dapat melihat ketegaran
Soe Hok Gie dalam menjalani kisah cintanya. Hampir tidak ada tanda-tanda bagaimana
ia hilang semangat. Pupusnya kisah cinta tidak membuatnya terjebak pada
penolakan itu sendiri. Life must go on.
Perjuangan Soe Hok Gie ternyata tidak
sebatas pada dunia politik saja. Perjuangan politik bisa saja menyita banyak
waktu dari sedikit waktu hidupnya, namun perjuangan dalam cinta seorang Soe Hok
Gie ternyata lebih dalam dan penuh dengan lika-liku yang tidak mudah untuk
diatasi. Ketegaran Soe patut diapresiasi. Puisi “Sebuah Tanya” adalah jawaban
dari sejuta pertanyaan tentang kisah cintanya.
dari berbagai sumber
gue cuman berharap semoga kita semua kelak bisa menjadi sperti Soe Hok Gie ini melalui tulisan2 di blog yang kita miliki kawan!
ReplyDeleteoleh sebab itu jadikan setiap postingan kita bermutu dan menginspirasi orang lain..:)
Deletewalopun aku nggak jago bikin puisi,tapi ikut aminin komentar diatas ajah :)
ReplyDeletemenulis dan mengutarakan isi hati atau mengkritik tidak harus lewat puisi..:)
DeleteGie memang benar2 hmmm luar biasa, mas!
ReplyDeleteiya dan dia salah satu inspirasi aku..
DeleteSaya malah ga kenal dengan beliau -_____-
ReplyDeleteSalam kenal pak !!!
bagi yang mengaku pencinta alam atau aktivis kampus,,harus tau atuh tokoh ini..
Deletebaru tau puisi ini pas ada lagu ost GIE by Erros, merinding... "kita begitu berbeda dalam semua, kecuali dalam cinta..."
ReplyDeletei like "kita begitu berbeda dalam semua, kecuali dalam cinta..."
Deletebangian dari puisi ini yg paling aku suka..:)
Soe Hok Gie adalah tokoh pemuda yang saya kagumi :D
ReplyDeletekeren !...
kata yang aku suka di filmnya "lebih baik mati dibunuh dari pada mati dalam kemunafikan"
Emosional saya membuncah setiap mengingat puisi ini dan gie. Entah, barangkali ada sesuatu yang lebih kuat justru di luar sosok gie itu sendiri.
ReplyDeleteWaduh Bang gue baru baca sekarang puisinya, ternyata sangat menarik. terutama pada "kita begitu berbeda dalam semua
Deletekecuali dalam cinta
Salam knal.
Merinding bacanya ...
ReplyDelete